Arsip Blog

Senin, 11 Maret 2013

3rd KTI. Analisis Unsus Intrinsik Novel Merantau ke Deli Karya Hamka


BAB III
UNSUR INTRINSIK
NOVEL MERANTAU KE DELI
KARYA PROF. DR. HAMKA

Novel Merantau ke Deli dipilih dalam penelitian ini karena sangat menarik untuk dikaji. Kelebihan novel Merantau ke Deli terletak pada ceritanya yakni tentang kesengsaraan Poniem sebagai tokoh utama yang menjadi pelacur di Tanah Deli. Poniem harus menjadi pelacur karena masa lalunya yang kelam dengan laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Kemudian Poniem bertemu dengan Leman yang akhirnya dapat membawanya keluar dari kegelapan hidup.
Poniem sebagai tokoh utama dalam novel Merantau ke Deli mempunyai watak berkembang. Pada tahap perkenalan tokoh Poniem adalah seorang pelacur, sedangkan ditahap permunculan masalah Poniem menjadi wanita dan istri yang sholehah. Ini menjadi salah satu daya tarik dari novel Merantau ke Deli.
Dalam novel  Merantau ke Deli Hamka mencoba menyampaikan pesan nasionalisme Indonesia melalui hubungan perkawinan antaretnis. Ini dapat dilihat dalam hubungan perkawinan antar entnis yang cukup mencolok antara tokoh Poniem (Jawa) dan Leman (Minangkabau) dalam Merantau ke Deli (1941). Hubungan ketua tokoh dari etnis yang berbeda ini sangat menentukan alur cerita novel ini. Latar tempat novel ini adalah daerah Deli dan Medan pada zaman sebelum perang. Leman adalah salah seorang perantau Minang yang mengadu nasib di daerah Deli yang sedang berkembang karena dibukanya onderneming-onderneming tembakau oleh Belanda. Dan Poniem adalah buruh dari Jawa yang datang ke Deli karena hal yang sama: berkembangnya ekonomi Deli akibat pembukaan onderneming-onderneming  perkebunan besar di daerah itu. Dalam novel Merantau ke Deli Hamka jelas sekali mengeritik eksklusifisme perkawinan Minangkabau dalam Merantau ke Deli.
            Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan menganalisis unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Merantau ke Deli.
3.1. Sinopsis Novel Merantau ke Deli.
            Poniem yang diselamatkan dari lembah kehinaan oleh seorang lelaki bujang, Leman. Dia kemudian diperisteri dan hidup dalam sebuah rumahtangga yang bahagia. Poniem sangat setia terhadap suaminya dan berusaha sekuat tenaga untuk membantu semua urusan rumahtangga dan pekerjaan suaminya. Akan tetapi lama-kelamaan kedamaian rumah tangga mereka semakin hari semakin hilang setelah Leman larut dalam kegiatan perdagangannya. Sebagai lelaki yang berasal dari keluarga Minang, dia ditekan oleh keluarga supaya mengawini seorang gadis yang sederajat untuk meneruskan adat dan budaya.
            Lama-kelamaan Leman termakan bujukan tersebut dan menerima untuk menikah kembali. Leman berjanji kepada Poniem tidak akan mengabaikannya dan selalu menjaga perasaannya sebagai isteri pertama. Namun janji tinggal janji. Isteri mudanya jauh lebih pandai berdandan, merayu dan merebut perhatian Leman suapaya lebih mencintainya. Pertengkaranpun mulai terjadi. Perdagangan Leman yang selama ini dibantu Poniem pun hendak dikuasai oleh isteri muda. Leman yang serba salah pada mulanya lama kelamaan mulai memihak kepada isteri mudanya.
            Pertengkaran hebat yang terjadi memaksa Leman menceraikan Poniem. Sejak hari itu Poniem meninggalkan rumahnya dan merantau ke deli. Kegiatan perdagangan Leman mulai mengalami rugi, ditambah lagi dengan sikap tamak isteri yang baru. Barulah Leman menyedari, selama ini dia banyak terbantu oleh ketekunan Poniem dalam berdagang. Tapi semua sudah terlanjur terjadi.

            Poniem akhirnya menemukan jodoh barunya yang lebih memahami dan menghargainya, Suyono—salah satu pekerja di kedai Leman. Mereka memulai berdagang kembali dengan sedikit modal yang ada pada mereka. Usaha dagang mereka maju hingga mereka sanggup membeli rumah dan tanah.
            Sementara itu Leman dan isteri mudanya semakin hari semakin jatuh miskin. Pertemuan kembali Leman dan Poniem terjadi ketika Poniem dan Suyono telah membeli rumah di Deli. Leman meminta maaf kepada Poniem atas kesalahannya dulu. Dengan lapang hati Poniem memaafkan kesalahan mantan suaminya itu.
3.2. Tema Novel Merantau ke Deli
            Tema dalam novel Merantau ke Deli adalah tentang kesengsaraan Poniem sebagai istri pertama yang dimadu oleh suaminya. Hal ini banyak terlihat ketika Mariatun dengan semena-mena berkuasa di rumah Leman dan Poniem. Poniem juga kerap mendapat caci maki dan hinaan dari Mariatun. Tragisnya Leman sama sekali tidak bisa berlaku adil terhadap Poniem dan Mariatun seperti janji awalnya kepada Poniem. Leman lebih mengutamakan Mariatun. Hal ini membuat Poniem sakit hati.
3.3. Penokohan dan Perwatakan Novel Merantau ke Deli
            Tokoh dibagi menjadi tiga, yaitu 1.) Protagonis, 2.) Antagonis, dan 3.) Tritagonis.
3.3.1. Tokoh Protagonis dalam Merantau ke Deli
Dalam novel Merantau ke Deli tokoh yang berperan sebagai tokoh protagonis adalah Poniem. Novel ini menceritakan bagaimana tokoh Poniem bersabar melawan suaminya—Leman yang semakin semena-mena dengan perasaannya. Padahal Poniem lah yang membantu Leman ketika perdagangannya tidak menghasilkan laba yang cukup untuk hidup berumah tangga.
Poniem adalah tokoh utama dalam Merantau ke Deli. Poniem adalah seorang kuli yang terpaksa menjadi seorang pelacur. Leman—pedagang kain, berusaha mengeluarkan Poniem dari lembah kenistaan. Akhirnya mereka berdua menikah.
Penulis juga selalu menceritakan tokoh Poniem yang mengindikasikan adanya keberadaan tokoh Poniem selain sebagai tokoh protagonis, juga sebagai tokoh utama. Beberapa contoh yang menjelaskannya, yaitu “Benar Abang, saya bergaul dengan dia diluar nikah, tetapi hidup saya aman sentausa dengan dia” (Hamka, 1941). Poniem lebih suka menjadi istri simpanan Kang Mandur dari pada dia harus mejadi nyai-nyainya tuan-tuan Besar. Atau menjadi “istri” yang pada akhirnya jika harta Poniem habis, ditinggalkannya Poniem.
            “Tentu saya tidak akan dapat hidup beruntung lagi, saya terpaksa.... ah, saya terpaksa menjadi perempuan lacur..... ...” (Hamka, 1941). Poniem mengatakan kepada Leman bahwa dia terpaksa menjadi pelacur karena terlanjur terjerumus. Poniem masih ragu dengan niat Leman untuk menikahinya. Poniem takut dia ditipu lagi seperti masa lalunya.
            “Karena kalau kesusahan abang itu bertambah berat juga, setelah diakhir baru abang beri tahu, tentu sesal kita tidak akan berkeputusan, padahal agaknya masih dapat kita cari jalan yang lebih baik........” (Hamka, 1941). Poniem mendesak Leman untuk mengatakan semua permasalahannya. Akhirnya Leman bercerita bahwa dia sedang kesusahan uang karena dagangannya tidak laku-laku.
            “Mari kita hidup......berdua.....tumpahkan kepercayaanmu ke padaku, kepercayaan yang tiada berkulit dan berisi, kepercayaan yang tulus, sebagai kepercayaanku pula terhadap abang” (Hamka, 1941). Poniem memberikan semua perhiasaannya kepada Leman sebagai modal untuk bedagang. Poniem benar-benar berniat untuk membantu kesulitan suaminya itu.
Kutipan pertama mengindikasikan adanya tokoh Poniem dalam novel Merantau ke Deli. Sedangkan kutipan kedua, ketiga, dan keempat menjadi pengantar penulis untuk menceritakan tokoh Poniem lebih lanjut.
3.3.1.1. Watak Poniem dalam Novel Merantau ke Deli
Poniem bertindak sebagai tokoh utama dalam novel ini. Poniem diposisikan sebagai tokoh utama karena Poniem lah yang selalu diceritakan dalam novel ini. Poniem digambarkan memiliki banyak karakter oleh penulis karena posisinya sebagai tokoh sentral.
Dalam novel ini, tokoh Alif digambarkan mempunyai watak berkembang. Pada tahap penyituasian tokoh Poniem berwatak murahan dan keras kepala. Sedangkan pada tahap selanjutnya sampai tahap anti klimaks Poniem berwatak setia, jujur, dan sabar.
3.3.1.1.1. Penurut
            “Apa yang akan abang bicarakan, katakanlah sekarng, hari sudah larut malam, kalau saya telat kembali kerumah marah Kang Mandur kepadaku” (Hamka, 1941). Leman sedang berbicara kepada Poniem—kuli kontrak perempuan. Leman ingin berbicara penting dengan Poniem pada tanggal 18 sore di kedai.
3.3.1.1.2. Murahan
            “Benar Abang, saya bergaul dengan dia diluar nikah, tetapi hidup saya aman sentausa dengan dia” (Hamka, 1941). Poniem lebih suka menjadi istri simpanan Kang Mandur dari pada dia harus mejadi nyai-nyainya tuan-tuan Besar. Atau menjadi “istri” yang pada akhirnya jika harta Poniem habis, ditinggalkannya Poniem.
            “Tentu saya tidak akan dapat hidup beruntung lagi, saya terpaksa.... ah, saya terpaksa menjadi perempuan lacur..... ...” (Hamka, 1941). Poniem mengatakan kepada Leman bahwa dia terpaksa menjadi pelacur karena terlanjur terjerumus. Poniem masih ragu dengan niat Leman untuk menikahinya. Poniem takut dia ditipu lagi seperti masa lalunya.
3.3.1.1.3. Keras Kepala
            “Patut saya katakan begitu, karena Abang berbicara main-main” (Hamka, 1941). Leman mencoba untuk membujuk Poniem agar Poniem mau menikah dengan Leman. Namun Poniem masih belum yakin dengan niat baik Leman.
            “Bagaimana Abang begitu lekas mempercayai saya, dan terburu-buru mengajak saya kawin, padahal belum Abang kenal betul peragai dan kelakuan saya” (Hamka, 1941). Poniem masih belum percaya jika Leman ingin menikahinya. Poniem tetap bersikukuh bahwa semua laki-laki selalu membawa sengsara bagi kuli perempuan seperti dirinya.
Bijaksana
            “Karena kalau kesusahan abang itu bertambah berat juga, setelah diakhir baru abang beri tahu, tentu sesal kita tidak akan berkeputusan, padahal agaknya masih dapat kita cari jalan yang lebih baik........” (Hamka, 1941). Poniem mendesak Leman untuk mengatakan semua permasalahannya. Akhirnya Leman bercerita bahwa dia sedang kesusahan uang karena dagangannya tidak laku-laku.
            “Mari kita hidup......berdua.....tumpahkan kepercayaanmu ke padaku, kepercayaan yang tiada berkulit dan berisi, kepercayaan yang tulus, sebagai kepercayaanku pula terhadap abang” (Hamka, 1941). Poniem memberikan semua perhiasaannya kepada Leman sebagai modal untuk bedagang. Poniem benar-benar berniat untuk membantu kesulitan suaminya itu.
            “Beratnya ongkos tidak perlu kita ingat. Di dalam menghubungkan kasih sayang, menemui famili dan kaum kerabat tidaklah boleh kita menhitung ongkos” (Hamka, 1941:45). Poniem benar-benar ingin ikut Leman ke kampung halaman Leman. Poniem ingin melihat sanak saudara dari Leman. Namun Leman tidak setuju dengan alasan ongkos berdua untuk pulang ke kampung halaman mahal.
3.3.1.1.4. Baik Hati
            “Bukan main baik hatinya perempuan Jawa itu, pamili kita yang datang berlindung kepadanya jarang sekali yang terlantar atau pulang dengan tangan hampa” (Hamka, 1941). Poniem sedah termashur namanya di kampung. Dia selalu membantu sanak saudaranya. Poniem juga tak segan untuk memberikan modal berdagang kepada sanak saudaranya. Semua orang mengenalnya sebagai perempuan Jawa yang baik hati.
            “Entah apa yang jadi sebabnya, entah karena melihat bayangan ketulusan yang terlukis di muka kuli itu atau entah karena melihat badannya yang lemah karena kurang makan jatuh sajalah rasa rahim dan kasian di hati keduanya” (Hamka, 1941). Suat hari datanglah seorang bekas kuli yang kelaparan ke kedai Leman dan Poniem. Kuli itu ingin melamar pekerjaan di kedai Leman. Sudah banyak kedai yang menolaknya, padahal dia juga butuh makan. Melihat kuli itu Poniem menjadi iba dan memperbolehkannya bekearja di kedainya.
            “Tetapi Mbak ayu Poniem bukan begitu, harta bendanya seakan-akan tidak diacuhkannya, mulutnya manis, tegur sapanya terpuji” (Hamka, 1941). Saudara-saudara Leman sangat menyayangi Poniem. Mereka senang dengan Poniem karena Poniem tidak sombong layaknya istri orang kaya lainnya.
3.3.1. Tokoh Protagonis dalam Novel Merantau ke Deli
            Leman adalah seorang pedagang kain di Deli. Leman jatuh cinta kepada Poniem yang merupakan seorang kuli sekaligus istri simpanan Kang Mandur. Leman berniat menikahi Poniem agar Poniem dapat keluar dari dunia yang hina.
3.3.1.2. Watak Leman Novel Merantau ke Deli
3.3.1.2.1. Tegas
            “Kalau saya yang meminta jadi isteriku, kalau saya ajak engkau ke luar dari kebun ini, karena kontrakmu hanya tinggal sebulan lagi ; kalau saya suruh engkau meninggalkan mandur besar, lalu kita lari ke tempat lain di tanah Deli ini, kita kawin dengan baik ; akan engkau tolak juga kah?” (Hamka, 1941). Leman telah menyamampaikan niat baiknya kepada Poniem untuk menikahi Poniem. Leman akan menikahi Poniem dan mengajak Poniem untuk meninggalkan kebun.
            “Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin, saya berjanji sepenuh bumi dan langit akan memeliharamu akan membelamu. Tidaklah saya mengharapkan harta bendamu, melainkan mengharapkan dirimu. Sungguh Poniem, saya bukan seorang penipu!” (Hamka, 1941:20). Poniem mengusulkan kepada Leman agar mereka tetap bersama dan berhubungan, namun mereka tidak menikah. Leman tidak menyutujui usulan Poniem.
3.3.1.2.2. Bijaksana
            “Kau jangan terlalu menghina diri Poniem, semua makhluk bernyawa di dunia ini, sama pada sisi Allah” (Hamka, 1941). Poniem merasa bahwa dirinya rendah. Dia tidak pantas bersanding dengan Leman yang berasal dari Padang. Leman menasehati Poniem jika semua makhluk di dunia ini sama di mata Allah.
            “Kalau engkau setia, saya tidak akan lupa membalas jasamu dengan setimpal” (Hamka, 1941). Leman senang bisa membantu orang yang kesusahan. Dia juga ingin menunjukan ke Poniem bahwa bukan hanya orang Minangkabau yang patut ditolong. Tapi juga orang yang berasal dari Jawa yang satu asal dengan istrinya, Poniem.
3.3.1.2.3. Jujur
            “Tidak Poniem, barang dicelakakan Allah untukku kalau saya berbicara main-main” (Hamka, 1941). Leman benar-benar yakin untuk menikahi Poniem. Laman sampai bersumpah atas nama Tuhan bahwa dia serius.
3.3.1.2.4. Tanggung Jawab
            “Demi Allah saya akan melindungi engkau Poniem! Dan biarlah Allah akan memberikan hukuman yang setimpal kepada saya, kalau saya mungkir” (Hamka. 1941:21). Leman berjanji akan melindungi Poniem. Bahkan Leman bersumpah atas nama Tuhan.
            “Kerja laki-laki mencarikan buat dia, membuatkan rumah, memberikan tambahan sawah ladangnya” (Hamka, 1941). Poniem mengatakan bahwa masalah Leman adalah masalah dia juga. Namun menurut Leman diadat Mingankabau istri selalu terma beres. Suami lah yang mencarikan nafkah dan memenuhi smua kebutuhan istri dan rumah tangga.
3.3.1.2.5. Pemarah
            “Barangkali sakit dibuat-buat, karena hendak memberi malu Mariatun” (Hamka, 1941). Leman marah kepada Poniem. Leman menuduh poniem sengaja mempermalukan Mariatun di depan Leman.
3.3.1.3. Watak Suyono dalam Novel Merantau ke Deli
            Suyono mempunyai nasib yang sama dengan Poniem. Suyono menjadi kuli di kebun. Ketika masa kontrak Suyono sudah habis, dia melamar pekerjaan di kedai Leman. Leman meminta pertimbangan Poniem untuk mempekerjakan Suyono di kedai. Dengan kebaikan hati Poniem, Suyono bisa bekerja di kedai.
            Pada tahap anti klimaks Suyono menjadi suami Poniem. Suyono ini mempunyai watak datar dalam Novel Merantau ke Deli.
3.3.1.3.1. Ramah
            “Sikapnya ramah tamah kepada pembeli, apalagi terhadap kuli yang sebangsanya” (Hamka, 1941). Suyono selalu baik kepada semua orang, terutama kepada kuli seperti dirinya. Dia selalu mematuhi perintah Leman dan Poniem sehingga beberapa bulan kemudia Suyono tidak hanya menjadi tukang cuci piring, tetapi sudah ikut berdagang bersama Leman dan Poniem.
3.3.1.3.2. Setia
            “Bekas kuli kontrak yang setia itu diam saja” (Hamka, 1941). Leman tidak percaya bahwa perdagangannya sedang sepi. Dia membuka-buka kotak yang ditaruh dia atas lemari. Leman kesal karena kotak itu kosong. Suyono hanya diam melihat tingkah majikannya itu.
            “..., yang membelanya waktu terjadi hal yang kusut, ialah Suyono orang gajian yang setia itu” (Hamka, 1941). Setelah mengetahuo penyebab mengapa perdagangannya sepi, Leman akhirnya menyerahkan kedainya kepada Suyono. Sukses atau tidaknya kedai Leman sekarang menjadi tanggung jawab Suyono.
3.3.2. Tokoh Antagonis dalam novel Merantau ke Deli
            Dalam novel ini Mariatun berperan sebagi tokoh antagonis. Mariatun merupakan istri kedua dari Leman. Semasa Mariatun dan Poniem tinggal satu rumah, Mariatun selalu mencari gara-gara dengan Poniem. Mariatun juga pandai merayu Leman, pandai berdandan, dan kerjanya hanya malas-malasan.
3.3.2.1. Watak Mariatun dalam Merantau ke Deli
3.3.2.1.1. Pemalas
            “Dia tidur di loteng, bangunnya tinggi hari, turunnya dari tangga loteng itu dilambat-lambatkannya kakiknya, ...” (Hamka, 1941:92). Poniem dan Mariatun akhirnya tinggal dalam satu rumah juga. Semakin lama sifat Mariatun semakin terlihat. Mariatun seorang yang pemalas. Kerjanya hanya memerintah dan berdandan.
3.3.2.1.2. Kasar
            “Dengan perkataan agak kasar dijawabnya : “Orang yang enak masakannya sakit kepala” (Hamka, 1941). Leman makan siang dengan masakan Mariatun. Namun rasa masakan Mariatun tidak enak. Dengan kasar Leman memprotes Mariatun.
            “Mariatun !.......mengapa sudah sampai ke sana kasarnya perkataanmu ?” (Hamka, 1941). Mariatun sudah keterlaluan. Dia berlaku seenaknya saja di rumah. Bahkan dengan tega dia menghina Poniem.
3.4. Alur Novel Ranah 3 Warna
Didalam novel Merantau ke Deli karya Hamka, terdapat alur maju. Alur maju yang menceritakan perjuangan tokoh Poinem keluar dari hidup sebagai kuli sekaligus pelacur. Setelah menikah dengan Leman—orang Minangkabau, hidupnya menjadi sejahtera. Namun pada usia pernikahan mereka yang ke 10, Leman berniat menikah lagi dengan Mariatun. Kelancangan sikap Mariatun menyebabkan Poniem dan Leman bercerai.
Menggunakan alur maju dapat dibuktikan dengan uraian sebagai berikut:
3.4.1. Tahap Penyituasian
Pada tahan ini penulis memperkenalkan situasi latar dan tokoh cerita. Berikut ini adalah tahap penyesuaian dalam novel Merantau ke Deli Poniem adalah seorang kuli sekaligus istri simpanan Kang Mandur. Poniem berparah cantik, maka itu yang menyelamatkan Poniem dari sensaranya kerja di kebun. Namun hal itu tidak membuatnya hidup sebagai wanita Jawa yang terhormat.
Leman adalah seorang perantau yang berdagang kain di Deli. Setiap hari bertemu menyebabkan Leman jatuh cinta kepada Poniem. Leman mengutarakan niatnya kepada Poniem untuk menikahinya. Dengan pertimbangan yang masak, akhirnya Poniem bersedia diperistri Leman.
Kutipan ini menunjukkan bahwa Leman sedang meyakinkan niatnya kepada Poniem, “Kalau saya yang meminta jadi isteriku, kalau saya ajak engkau ke luar dari kebun ini, karena kontrakmu hanya tinggal sebulan lagi ; kalau saya suruh engkau meninggalkan mandur besar, lalu kita lari ke tempat lain di tanah Deli ini, kita kawin dengan baik ; akan engkau tolak juga kah?” (Hamka, 1941). Leman telah menyamampaikan niat baiknya kepada Poniem untuk menikahi Poniem. Leman akan menikahi Poniem dan mengajak Poniem untuk meninggalkan kebun.
“Oh Poniem, saya tak mau begitu, saya mau kawin, saya berjanji sepenuh bumi dan langit akan memeliharamu akan membelamu. Tidaklah saya mengharapkan harta bendamu, melainkan mengharapkan dirimu. Sungguh Poniem, saya bukan seorang penipu!” (Hamka, 1941). Poniem mengusulkan kepada Leman agar mereka tetap bersama dan berhubungan, namun mereka tidak menikah. Leman tidak menyutujui usulan Poniem.
3.4.2. Tahap permunculan masalah
Kehidupan rumah tangga Leman dan Poniem sangat bahagia. Mereka saling menghormati satu sama lain. Mereka juga saling menyayangi. Semakin lama Poniem merasakan ada sesuatu yang berubah dari Leman. Poniem memaksa Leman untuk berterus terang apa yang terjadi sehingga membuat Leman berubah. Akhirnya Leman menceritakan kepada Poniem bahwa perekonomian keluarga mereka sedang sulit. Modal dagangan menipis. Pembeli juga tidak banyak. Mendengar keluh kesah suaminya, Poniem langsung melepas semua perhiasan yang ada di tubuhnya. Poniem memberikannya kepada Leman supaya digadaikan untuk megembangkan usahanya.
Dengan kesabaran dan ketekunan Poniem, Leman bisa membuka kedai. Pedagang-pedagang besar dari Medan mempercayai barang dagangannya ke kedai Leman. Kini hidup Leman dan Poniem sejahtera.
Semenjak itu kebahagiaan Leman dan Poniem tidak berlangsung lama. Leman dipaksa oleh sanak saudaranya di kampung halamannya—Minangkabau—untuk menikah dengan Mariatun yang satu kampung denga Leman.
Meskipun sakit hati, Poniem tetap mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Di sini lah awal keretakan hubungan Poniem dan Leman.
Kutipan ini menjelaskan ketika Leman meminta izin untuk menikah lagi, “Jadi engkau izinkan abang beristri seorang lagi ?” (Hamka, 1941). Leman meminta izin kepada Poniem untuk menikah lagi. Awalnya Poniem keberatan dengan permintaan suaminya itu. Namun karena dia terlalu mencintai Leman, Poniem akhirnya mengizinkan Leman untuk menikah lagi.
3.4.3. Peningkatan konflik
            Dengan kesabaran dan ketekunan Poniem, Leman bisa membuka kedai. Pedagang-pedagang besar dari Medan mempercayai barang dagangannya ke kedai Leman. Kini hidup Leman dan Poniem sejahtera.
Semenjak itu kebahagiaan Leman dan Poniem tidak berlangsung lama. Leman dipaksa oleh sanak saudaranya di kampung halamannya—Minangkabau—untuk menikah dengan Mariatun yang satu kampung denga Leman.
Meskipun sakit hati, Poniem tetap mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Di sini lah awal keretakan hubungan Poniem dan Leman.
Kutipan ini menjelaskan ketika Leman meminta izin untuk menikah lagi, “Jadi engkau izinkan abang beristri seorang lagi ?” (Hamka, 1941). Leman meminta izin kepada Poniem untuk menikah lagi. Awalnya Poniem keberatan dengan permintaan suaminya itu. Namun karena dia terlalu mencintai Leman, Poniem akhirnya mengizinkan Leman untuk menikah lagi.


3.4.4. Tahap klimaks
Pada tahap ini Poniem diperlakukan semena-mena oleh Mariatun dan Leman. Terlebih-lebih Mariatun selalu berlaga sok menguasai Leman. Memang Mariatun pintar sekali berdandan, bersoleh, dan merayu hati Leman.
Leman tidak sanggup mengemudikan bahtera rumah tangga dengan dua orang istri. Dia selalu menelan mentah-mentah omongan Mariatun. Leman menjadi orang yang pemarah. Leman juga lupa pada janjinya untuk berlaku adil kepada Poniem dan Mariatun. Hingga tiba-tiba ketika Leman sedang emosi berat, dijatuhkannya talak tiga kepada Poniem.
Kutipan ini menjelaskan bahwa Poniem disia-siakan oleh Leman, ““Barangkali sakit dibuat-buat, karena hendak memberi malu Mariatun” (Hamka, 1941). Leman marah kepada Poniem. Leman menuduh poniem sengaja mempermalukan Mariatun di depan Leman.
3.4.5. Anti klimaks
Poniem pergi meninggalkan rumah. Dia tidak meminta harta sepeserpun dari Leman. Poniem hanya meminta selembar kain batik dari kedai Leman. Mengetahui Poniem akan pergi dari rumah, Suyono langsung mengemasi pakaiannya dan meminta berhenti bekerja pada Leman. Suyono ingin mengikuti kemana pun Poniem pergi.
Tiga tahun kemudian, Poniem dan Suyono menikah, mereka mengangkat anak asuh yang bernama Maryam. Poniem dan Suyono membeli rumah di tanah Deli. Sedangkan Leman dan Mariatun menjadi miskin. Sikap tamak Mariatun telah menghabiskan seluruh harta Leman.
Ketika Poniem dan Suyono sudah pindah ke rumah baru, Leman datang untuk meminta maaf kepada Poniem atas segala kesalahannya. Dengan besar hati Poniem memaafkan Leman.
Kutipan ini menjelaskan ketika Poniem memaafkan kesalahan Leman, “Saya maafkan” (Hamka, 1941). Leman datang ke rumah baru Poniem dan Suyono. Leman hendak meminta maaf kepada Poniem atas kesalahannya dulu. Dengan lapang hati Poniem bersedia memaafkan Leman.
3.5. Latar Novel Merantau ke Deli
3.5.1. Latar Tempat Novel Merantau ke Deli
Dalam novel Merantau ke Deli karya Hamka, berlatar tempat pada tanah Deli. Tanah Dali adalah tempat perantauan. Banyak suku dari pelosok negeri yang merantau ke Deli.
3.5.1.1. Latar Tempat
3.5.1.1.1. Tanah Deli
            “Mereka ditipu, dikatakan bahwa pekerjaan di Tanah Deli itu amat senang, ... “ (Hamka, 1941). Ada yang menjadi kuli karena ditipu oleh tengkulak-tengkulak yang disebut werves. Para tengkulak mengatakan bahwa bekerja Tanah Deli sangat menyenangkan.
            “Deli itulah yang menyeru orang Amerika mencari dollar, orang kontrak mencari dan mengumpulkan dari setali ke setali” (Hamka, 1941). Banyak orang yang merantau ke Deli untuk mencari rezeki yang nantinya akan dibawa mereka ke kampung halamannya.
3.5.1.1.2. Tanjung Priok
“Rupanya setelah sampai di Tanjung Priok barulah saya tahu bahwa suami saya itu bukanlah seseorang baik-baik” (Hamka, 1941:16). Poniem diajak menikah oleh laki-laki yang mengaku nantinya Poniem akan dibawa meranntau ke Deli. Orang tua Poniem diiming-imingi uang diawal pertemuan mereka dengan laki-laki yang akan memperistri Poniem.
Medan
            “... sudah banyak saudagar besar di Medan yang suka melepaskan barang kepadanya, ...” (Hamka, 1941). Semenjak sudah tidak ada lagi rahasia diantara Poniem dan Leman, mereka hidup sejahtera. Dengan modal yang diberikan oleh Poniem, dagangan Leman menjadi lebih besar. Banyak saudagar-saudagar besar yang mempercayakan barang dagangannya pada Leman.
            “Tiap-tiap bulan tua, dia sendiri yang pergi ke Medan membeli barang-barang baru, ...” (Hamka, 1941. Para saudagar besar sangat percaya kepada Leman. Para pedagang itu selalu memberikan dagangan mereka kepada Leman untuk dijual.
            “Kepada induk semang di Medan telah dikatakan terus terang bahwa pangkal bulan yang sekali ini mereka tidak akan setor” (Hamka, 1941). Poniem dan Leman menyiapkan uang untuk pulang ke kampung halaman. Mereka sudah menentukan hari keberangkatan mereka. Di awal bulan mereka bilang kepada pedagang-pedagang di Medan bahwa Leman tidak menggambil barang dagangan dulu.
3.5.1.1.3. Minangkabau
            “Rumah-rmah di Minangkabau tidak tersedia untuk saudara laki-laki yang hendak membawa isterinya tingal di sana” (Hamka, 1941). Leman dan Poniem sebenarnya ingin tinggal di kampung halaman selama sebulan atau dua bulan. Namun baru setengah bulan mereka sudah tidak nyaman. Saudara-saudara perempuan Leman tinggal bersama suami mereka di kamar masing-masing. Rumah-rumah kampung halaman Leman tidak menyediakan kamar bagi saudara laki-laki yang membawa istrinya. Sedangkan Poniem harus tinggal di mana selama mereka ada di kampung halaman Leman.
3.5.1.2. Latar Suasana
3.5.1.2.1. Ramai
            “Ramai dan riuh rendah orang di kebun” (Hamka, 1941). Pada tanggal satu para pekerja mendapatkan upah bulanan. Para bekerja berlarian dari dalam kantor setelah mereka menerima gaji.
            “Bertambah lama halaman itu bertambah ramai” (Hamka, 1941). Setibanya Leman dan Poniem di kampung halaman Leman, semua sanak seudara Leman menyambut mereka dengan ramah. Susana kampung halaman Leman menjadi riuh ramai karena kedatangannya.
3.5.1.2.3. Senang
            “Bila hari telah malam dan kedai ditutup mereka duduk berdua berhadap-hadapan dengan muka yang penuh riang gembira” (Hamka, 1941). Setelah kedai Leman tutup, mereka duduk berdua dengan hati yang gembira. Kadang mereka teringat saat pertemuan pertama mereka.
3.5.1.2.4. Menegangkan
“Hampir terjadi pergumulan hebat, tapi sebaik hendak bergumul selekas itu pula Suyono datang memisahkan” (Hamka, 1941). Poniem dan Mariatun beradu mulut. Hampir saja mereka beradu fisik, namun dengan tanggapnya Suyono segera melerai mereka.
3.5.1.3. Latar Waktu
3.5.1.3.1. Malam
            “Setelah lepas pukul delapan, lenganlah tempat itu, tapi mereka menunggu sampai pukul 12 atau pukul satu malam” (Hamka, 1941). Dari pukul delapan permainan judi yang dimainkan oleh kuli-kuli semakin ramai, apalagi pukul sepuluh, gamelan—yang sengaja dibawa dari tanah Jawa dan sudah dapat ijin dari Mandur besar—sudah dibunyikan oleh kuli-kuli tua.
            “Bertambah larut hari bertambah asyiklah orang berjudi,... “ (Hamka, 1941). Semakin malam keadaan pasar semakin ramai, banyak kuli yang berjudi. Kuli yang kalah harus pergi ke tempat orang berjualan yang ada di pasar.
            “Apa yang akan abang bicarakan, katakanlah sekarng, hari sudah larut malam, kalau saya telat kembali kerumah marah Kang Mandur kepadaku” (Hamka, 1941). Leman sedang berbicara kepada Poniem—kuli kontrak perempuan. Leman ingin berbicara penting dengan Poniem pada tanggal 18 sore di kedai.
“Bila hari telah malam dan kedai ditutup mereka duduk berdua berhadap-hadapan dengan muka yang penuh riang gembira” (Hamka, 1941). Setelah kedai Leman tutup, mereka duduk berdua dengan hati yang gembira. Kadang mereka teringat saat pertemuan pertama mereka.
“Pada suatu malam, sedang suaminya pergi berziarah ke rumah seorang temannya, dengan diam-diam dibukanya bungkusan dagang suaminya itu... “ (Hamka, 1941). Poniem merasa ada yang berubah dari Leman. Ketika Leman pulang dari ziarahnya, Poniem dan Leman makan bersama. Poniem menanyakan kepada Leman apa yang sedang disembunyikan leman namun Leman menyangkalnya.
3.5.1.3.2. Sore
            “Tanggal dua puluh dua sore..... Mereka telah bertemu kembali” (Hamka, 1941). Poniem dan Leman bertemu kembali. Leman kembali menanyakan bagaimana keputusan Poniem atas niat baik Leman untuk menikahinya.
3.5.1.3.3. Pagi
“Dari Siantar mereka meneruskan perjalanan sepagi itu dengan diam-diam, menuju Medan” (Hamka, 1941:26). Poniem akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Leman. Mereka kabur dari Kang Mandur pagi-pagi menuju Medan. Poniem kabur membawa semua harta benda yang telah diberi oleh Kang Mandur.
“Setelah pagi hari, kelihatan benar jernihnya muka Leman” (Hamka, 1941). Setelah mempercayakan kedainya ke tangan Suyono, Leman langsung meminta maaf kepada Poniem atas kesalahannya selama ini.
3.6. Sudut Pandang Novel Merantau ke Deli
            Sudut pandang novel ini adalah orang ketiga maha tau. Hamka seperti Tuhan dalam novel ini, yang mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Hamka juga bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya.
Contonhnya, ““Dari Siantar mereka meneruskan perjalanan sepagi itu dengan diam-diam, menuju Medan” (Hamka, 1941). Poniem akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Leman. Mereka kabur dari Kang Mandur pagi-pagi menuju Medan. Poniem kabur membawa semua harta benda yang telah diberi oleh Kang Mandur.
“Setelah pagi hari, kelihatan benar jernihnya muka Leman” (Hamka, 1941). Setelah mempercayakan kedainya ke tangan Suyono, Leman langsung meminta maaf kepada Poniem atas kesalahannya selama ini.
3.7. Amanat Novel Merantau ke Deli
            Amanat dalam novel ini adalah janganlah sia-siakan istri yang sudah sepenuhnya membela suami. Istri yang setia dan selalu menjaga nama baik suaminya. Istri yang selalu mengerti bagaimana keadaan suami. Karena jika itu terjadi pasti kita akan sangat menyesal. Seperti tokoh Leman yang menyia-nyiakan Poniem. Leman lebih memilih menikah lagi dengan Mariatun daripada setia menjaga perasaan istrinya.
            Setelah Leman bercerai dengan Poniem dan jatuh miskin, baru lah Leman menyesali perbuatannya dulu.

Hak Cipta Oleh:
Almadinda Violita Sarajivo

2nd KTI. Analisis Unsur Intrinsik Novel Ranah Tiga Warna Karya Ahmad Fuadi


BAB III
PEMBAHASAN UNSUR INTRINSIK
NOVEL RANAH 3 WARNA
KARYA AHMAD FUADI

Novel  Ranah 3 Warna dipilih dalam penelitian ini karena sangat menarik untuk dikaji. Kelebihan novel Ranah 3 Warna terletak pada ceritanya yakni tentang keteguhan prinsip yang dimiliki oleh Alif Flkri sebagai tokoh utama dalam novel ini. Alif Fikri adalah seorang santri yang bermimpi ingin berekolah di ITB seperti Habibie. Mimpi yang selalu dibelanya itu mendapat tanggapan negatif. Mulai dari Randai—sahabat Alif sejak kecil dan teman-temananya. “Wa’ang, Lif? Mau coba UMPTN? Emang sekolah kamu di SMA mana? Tanya Armen kawanku dengan tergelak keheranan (Fuadi, 2011:7). Armen tidak yakin dengan impian Alif. Armen merasa itu UMPTN adalah hal yang mustahil bagi seorang lulusan pesantren seperti Alif.
Banyak yang meremehkan impian Alif, namun ada juga yang prihatin dengan Alif. “...Aden saja yang lulusan SMA favorit tidak tembus UMPTN. Berat benar. Coba D3 yang lebih ringan persaingannya dan bisa cepat kerja,” kata Zulman meyakinkan bahwa aku akan senasib dengannya (Fuadi, 2011:6).  Selain meremehkan, ada juga yang simpati kepada Alif. Seperti Zulman, Zulman menyarankan agar Alif mencoba D3 saja agar tidak terlalu banyak sainagn dan bisa langsung bekerja. Namun pendap teman-teman Alif tidak ada yang dia hiraukan. Alif tetap yakin pada impiannya. Pada ITB, dan pada Amerika.
Alif Fikri sebagai tokoh utama dalam novel ini juga memiliki kelebihan, meskipun diremehkan Alif tidak pernah sedikitpun menyerah sekalipun itu hanya dalam hati. Berbekal mantra man jadda wajada dan man shabara zhafira, Alif mampu melewati semua rintangan.
Kelebihan yang dimiliki Anwar Fuadi sebagai penulis novel ini, yaitu penulis dapat menceritakan secara gamblang tentang Maninjau. Kisah Alif diwarnai dengan budaya sosial yang ada di Maninjau. Bahasa dalam novel ini pun memakai bahasa Maninjau. Daerah asal penulis sangat berpengaruh terhadap isi novel Ranah 3 Warna ini.
Selain itu, penulis dapat menceritakan kisah Alif dengan latar di luar Indonesia yaitu, Amman-Yordania, Kanada-Quebec. Penulis juga menguasai bahasa asing, dan mampu menyuguhkan pepatah arab sehingga penulis bisa benar-benar mengindikasikan bahwa tokoh Alif adalah lulusan pesantren.
Masalah lain yang menarik untuk dikaji dalam novel Ranah 3 Warna antara lain, yaitu: konflik Alif Fikri dan Randai. Meraka adalah sahabat yang sama-sama berlomba meraih impian. Sudah setengah jalan Alif mampu meraih impiannya. Meskipun bukan di ITB, Alif sudah cukup bersyukur karena dia masuk HI di universitas UNPAD Bandung. Kerena kondisi ekonomi keluarga Randai lebih mampu, maka selama di Bandung, Alif tinggal di rumah kos Randai.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan menganalisis unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna.
3.1. Sinopsis Novel Ranah 3 Warna
Alif dan Randai adalah kawan semasa kecil. Mereka sangat dekat satu sama lain. Namun, di lain sisi mereka juga saling bersaing. Menjadi mahasiswa ITB adalah impian Alif sejak dulu. Kini ia telah menyelesaikan pendidikan agamanya di Pondok Madani. Namun, ia tidak memiliki ijazah SMA. Banyak teman di kampungnya yang meragukan  kemampuannya untuk bisa tembus UMPTN, termasuk Randai. Akan tetapi Alif tidak berkecil hati, dia tetap yakin pada mimpinya.
Akhirnya, Alif berhasil lulus ujian persamaan SMA meskipun dengan nilai yang pas-pasan, tetapi dia percaya pada mantra sakti yang ia peroleh selama belajar di Pondok Madani; man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Selama persiapan menuju UMPTN, dia belajar segenap daya dan  upaya. Namun, saat itu hanya sedikit waktu yang dimiliki Alif untuk bisa menuntaskan semua pelajaran IPA. Alif merasa harus memilih pilihan lain. Sejak saat itu, Alif mengubah pilihan menjadi IPS. Melihat daftar universitas dan program studinya saat itu, hati Alif tertarik dengan Hubungan Internasional UNPAD.
Bersamaan dengan detik-detik menjelang UMPTN, sedang berlangsung pertandingan kesebelasan di daerah Eropa. Selain belajar untuk persiapan UMPTN, Alif juga menyempatkan dirinya untuk menonton bola bersama ayahnya. Saat itu, ia bertaruh dengan ayahnya melihat tim yang akan memenangkan pertandingan. Alif sengaja memilih tim yang banyak diremehkan orang. Ia memilih tim kesebelasan Denmark. Ayahnya memegang Jerman. Ternyata, saat  itu tim Denmark yang tidak disangka-sangka sebelumnya, berhasil menaklukkan Jerman pada babak final melalui tendangan pinalti. Berkaca dari hal ini  Alif yang merasa dirinya senasib dengan tim Denmark yang dianggap sebelah mata, timbul semangatnya untuk bekerja lebih keras lagi. Dengan kesungguhan tekad ia berjanji dalam hati untuk membuktikan bahwa ia bisa tembus UMPTN. Hal itu terwujud, akhirnya ia lulus UMPTN dan berhasil masuk menjadi mahasiswa HI UNPAD.
Bermodalkan beberapa lembar rupiah dan sepatu hitam dari ayahnya serta doa orangtua, Alif berangkat ke Bandung. Berbagai tantangan dia hadapi selama kuliah di UNPAD, mulai dari keinginan menjadi seorang penulis dengan berguru ke seorang senior bernama Bang Togar, meskipun sebenarnya Alif tau Bang Togar adalah orang yang keras, namun  ia bertahan. Ia juga bertemu dengan Raisa, wanita mempesona yang berhasil mengambil hati Alif. Raisa juga yang membantu Alif hingga akhirnya artikel Alif berhasil dimuat di media lokal Bandung.
Akan tetapi nasib malang tak dapat dihindari, baru beberapa bulan Alif kuliah, ayahnya meninggal. Kehilangan sosok ayah yang menjadi tulang punggung keluarga membuat Alif goyah. Siapa nantinya yang akan membiayayi sekolah adik-adiknya di kampung. Alif hampir putus asa, tapi sosok seorang Ibu menyemangatinya sehingga dia mau melanjutkan kembali kuliahnya.             
Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba mengikuti tes pertukaran pelajar ke Amerika, bermodalkan niat dan tekad, Alif pun berhasil lolos dengan berbagai pertimbangan yang diberikan oleh panitia. Kanada adalah tempat yang ditiju Alif selama pertukaran pelajar di Amerika. Raisa yang merupakan wanita yang Alif sukai juga lolos seleksi pertukaran pelajar tersebut. Alif pun menambah banyak teman dari rombongan pertukaran pelajar tersebut.
            Alif tinggal di sebuah kota kecil di Kanada, Quebec, dia tinggal dengan homestay parent bernama Franco Pepin. Banyak pengalaman yang Alif dapatkan saat di Kanada, mulai canda, tawa, cinta, sedih campur menjadi satu, hingga Alif mendengarkan pernyataan dari Raisa secara tidak sengaja yang menyatakan bahwa dia tidak ingin pacaran, tapi dia ingin langsung ke jenjang pernikahan. Hal ini menyebabkan Alif mengurungkan niatnya untuk menyatakan perasaannya yang ingin dia ungkapkan melalui surat dan menyimpan surat itu hingga suatu hari.
             Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Alif lulus. Namun di hari kelulusan itu, saat Alif ingin menyerahkan surat tersebut ke Raisa, hal yang tidak disangka terjadi. Raisa telah bertunangan dengan Randai, Dengan perasaan yang campur aduk dia berusaha mencoba untuk menerimanya.
3.2. Tema Novel Ranah 3 Warna
Tema Ranah 3 Warna adalah tentang perjuangan seorang lulusan pesantren untuk menggapai mimpinya. Hal tersebut banyak terlihat dari bagaimana penulis menceritakan sosok Alif yang gigih berjuang untuk mencapai mimpi-mimpinya. Mulai dari perjuangannya untuk bisa lulus ujian persamaan SMA, lulus UMPTN dan masuk HI UNPAD sesuai yang diinginnya, hingga keinginannya untuk bisa mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika. Alif yang hanya seorang lulusan pesantren telah berhasil berjuang gigih melawan rasa pesimis yang banyak diberikan oleh rekan-rekan sekitarnya. Demi memperjuangkan mimpinya, Alif mampu melewati berbagai rintangan di tiga ranah yang berbeda, di tempat, yaitu Bandung, Amman, dan Saint Raymond. Hal ini sesuai dengan judul novel ini Ranah 3 Warna.
3.3. Penokohan dan Perwatakan Novel Ranah 3 Warna
            Tokoh dibagi menjadi tiga, yaitu 1.) Protagonis, 2.) Antagonis, dan 3.) Tritagonis. Namun dalam kisah Alif Fikri, penulis tidak mengikutsertakan tokoh antagonis di dalamnya. Sebegai penggantinya, penulis menyuguhkan konflik yang berkembang untuk menguji keyakinan Alif Fikri dalam membela mimpinya.
3.3.1. Tokoh Protagonis dalam Novel Ranah 3 Warna
Dalam novel Ranah 3 Warna tokoh yang berperan sebagai tokoh protagonis adalah Alif Fikri. Novel ini menceritakan bagaimana tokoh Alif membela mimpinya dengan segenap usaha dan keyakinan. Alif Fikri adalah pemeran utama dalam Ranah 3 Warna. Alif Fikri adalah seorang lulusan pesantren Pondok Madani di Ponorogo. Alif bercita-cita ingin masuk universitas Teknologi Bandung layaknya Habibie. Namun, mimpinya ini mendapat tanggapan kurang baik dari Randai dan teman-temanya. Bahkan amak dan ayahnya tidak sepenuh hati dengan impian Alif. Alif tidak menyerah dengan semuai ini. Berbekal tekad yang bulat dan mantra man jadda wajada juga man shabara zhafira, Alif berhasil meraih mimpinya dan menginjakkan kakinya di Kanada.
Penulis juga selalu menceritakan tokoh Alif Fikri yang mengindikasikan adanya keberadaan tokoh Alif selain sebagai tokoh protagonis, juga sebagai tokoh utama. Beberapa contoh yang menjelaskannya, yaitu “Eh, Alif, jadi setelah tamat pesantren ini, wa’ang masih tertarik jadi seperti Habibie?” tanya Randai sambil menepuk-nepuk betisnya yang dirubung agas (Fuadi, 2011). Alif dan Randai sedang memancing bersama di danau Maninjau. Randai sedang libur pajang di ITB, sedangkan Alif baru lulus dari Pondok Pesantren Madani di Ponorogo. Mereka bertaruh siapa yang mendapatkan ikan paling banyak, dialah yang nantinya akan menraktir makan pensi rebus khas Danau Maninjau.
“Jangan banyak tanya!” teriakku. Lihat saja nanti. Kita sama-sama buktikan!” kataku dengan nada tinggi. Alif tersinggung dengan lontaran pertanyaan Randai yang terkesan menjatuhkan Alif. Lalu, Alif memutuskan untuk pergi meninggalkan Randai sambil bergumam dalam hati.
“Tapi Yah, hanya 2 bulan? Untuk belajar pelajaran 3 tahun?” Aku menghela napas panjang, antara bingung dan gentar. Bisakah aku? (Fuadi. 2011). Setelah Ayah Alif memberikan dokumen kelengkapan ujian persamaan SMA. Alif merasa gentar dan tidak yakin. Apakah dia bisa mempelajari pelajaran SMA selama tiga tahun dalam waktu seminggu.
Kutipan pertama mengindikasikan adanya tokoh Alif dalam novel Ranah 3 Warna. Sedangkan kutipan kedua dan ketiga menjadi pengantar penulis untuk menceritakan tokoh Alif lebih lanjut.
3.3.1.1. Watak Alif Fikri dalam Novel Ranah 3 Warna
            Alif Fikri bertindak sebagai tokoh utama dalam novel ini. Alif diposisikan sebagai tokoh utama karena Alif lah yang selalu diceritakan dalam novel ini. Alif digambarkan memiliki banyak karakter oleh penulis karena posisinya sebagai tokoh sentral.
Dalam novel ini, tokoh Alif digambarkan mempunyai watak berkembang. Di tahap penyituasian watak Alif mudah putus asa hanya dengan hal-hal sepele. Sedangkan di tahap permunculan masalah, peningkatan konflik, tahap klimaks, dan anti klimaks watak Alif tidak mudah putus asa. Alif tidak menyerah membela mimpinya yang tinggi, meskipun banyak rintangan menghadangnya.
3.3.1.1.1. Mudah Putus Asa
“Waktu itu impianku adalah menjadi seperti Habibie dan belajar sampai Amerika. Tapi lihatlah aku hari ini. Memancing seekor ikan danau pun tidak bisa. Apalagi menggapai cita-citaku” (Fuadi, 2011). Ketika Alif dan Randai memancing di pinggiran Danau Maninjau, Randai melontarkan pertanyaan yang menggoyahkan keyakinan Alif atas mimpinya menjadi seperti Habibie dan belajar samapi Amerika.
“Tapi Yah, hanya 2 bulan? Untuk belajar pelajaran 3 tahun?” Aku menghela napas panjang, antara bingung dan gentar. Bisakah aku? (Fuadi. 2011). Setelah Ayah Alif memberikan dokumen kelengkapan ujian persamaan SMA. Alif merasa gentar dan tidak yakin. Apakah dia bisa mempelajari pelajaran SMA selama tiga tahun dalam waktu seminggu.
3.3.1.1.2. Pantang Menyerah
“Jangan banyak tanya!” teriakku. Lihat saja nanti. Kita sama-sama buktikan!” kataku dengan nada tinggi. Alif tersinggung dengan lontaran pertanyaan Randai yang terkesan menjatuhkan Alif. Lalu, Alif memutuskan untuk pergi meninggalkan Randai sambil bergumam dalam hati.
“Insya Allah Yah, ambo akan berjuang habis-habisan untuk persamaan ini dan untuk UMPTN” (Fuadi, 2011). Setelah mendengarkan nasihat dari Ayahnya, Alif bertekad untuk belajar dengan giat lagi untuk ujian persamaan dan UMPTNnya.
“Aku ingin membuktikan kepada mereka semua, bukan mereka yang menentukan nasibku, tapi diriku dan Tuhan. Aku punya impianku sendiri. Aku ingin lulus UMPTN, kuliah di jalur umum untuk bisa mewujudkan impianku ke Amerika (Fuadi, 2011). Alif tidak memperdulikan omongan teman-temannya dan Randai. Alif percaya jika dia berusaha dan berdoa, Tuhan pasti akan menolongnya.
“Janganlah setahun, tiga tahun pun akan aden lakukan demi mencapai cita-cita...” (Fuadi, 2011). Alif sedang belajar pelajaran SMA dan Randai menjadi tutor Alif. Namun, sudah berulang kali Alif diajari rumus kimia, matematika, dan fisika. Tetap saja Alif tidak mengerti. Randai akhirnya menyerah mengajari Alif. Karena merasa diremehkan, Alif dengan lantang mengatakan bahwa dia bisa sendiri tanpa bantuan Randai.
“Bismillah. Ayo, kawan hitamku, kita taklukkan dunia” (Fuadi, 2011). Alif menunduk melihat ujung sepatu hitam pemberian dari Ayahnya. Dengan penuh semangat, Alif mengayunkan sepatu hitam melangkah untuk merantau di tanah Jawa.
“Hari ini aku memutuskan bangkit dari sakitku” (Fuadi, 2011). Alif menemukan kertas yang sudah menguning di dompetnya. Dia buka pelan-pelan. Ternyata isinya tentang tiga petatah yang akhirnya kembali menyemangati Alif. Alif kembali berjuang untuk hidupnya. Dia lawan sakitnya. Alif membuka buku diarynya yang sudah berdebu karena lama tidak pernah dibuka.
3.3.1.1.3. Jujur
“Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunannya ajaran Amak dan Pondok Madani  tentang kejujuran dan keikhlasan (Fuadi, 2011). Armen—teman Alif, belum juga puas. Tiba-tiba Armen bertanyaan, namun lebih terdengar meremahkan. Jika Alif lulus UMPTN tentu saja Alif menggunakan joki. Pertanyaan itu pasti dibaantah keras oleh Alif.
3.3.1.1.4. Bijaksana
“Ambo sudah bisa merantau ke Jawa, jadi janganlah Ayah khawatir. Tapi melihat kondisi Ayah, malah Ambo yang cemas. Ambo akan tunggu Ayah sehat dulu” (Fuadi, 2011). Melihat kondisi kesehatan Ayahnya semakin turun. Alif merasa tidak tega meninggalkan Ayahnya sendirian.  Alif bemaksud ingin menunda keberangkatannya ke Bandung.
3.3.1.1.5. Mudah Bimbang
Semenjak Ayah Alif meninggal, Alif menjadi seorang yang mudah bimbang. Bimbang untuk memikirkan bagaimana Amaknya akan menghidupi adik-adiknya dan dirinya. Alif ingin berhenti kuliah dan membantu Amaknya, namun Amaknya terang-terangan menentang hal itu. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan “Mana yang harus aku patuhi? Wasiat Ayah untuk membela Amak dan adik-adikku, dengan mengorbankan kuliah? Atau tunduk pada “ancaman” Amak untuk terus kuliah. Tapi merasa bersalah karena membebani beliau?” (Fuadi, 2011). Alif menjadi bimbang dengan semua ini. Alif ingin berhenti kuliah dan membantu Amaknya. Namun mengingat perjuangannya untuk lolos UMPTN, Alif menjadi bimbang lagi. Alif masih ingin kuliah tapi dia tidak punya uang untuk membayar SPP, uang saku, uang kos, dan uang makan.
3.3.1. Tokoh Protagonis dalam Novel Ranah 3 Warna
Randai adalah kawan akrab Randai. Sejak kecil mereka selalu berlomba masalah remeh-temeh. Ketika dewasa mereka berlomba-lomba untuk masa depan. Entah mengapa Randai selalu meremehkan Alif yang berstatus lulusan pesantren. Randai selalu melontarkan pertanyaan yang membuat Alif tersinggung. Semasa Alif di Pondok Madani, Randai selalu menyombongkan diri melalui surat yang berisi pengalaman SMAnya lengkap dengan foto Randai berseragam putih abu-abu, yang dikirimkan kepada Alif. Meskipun Randai dan Alif selalu bersain, mereka tetap merupakan kawan sejak kecil yang saling menyayangi satu sama lain.
Pada tahap peningkatan konflik, Randai ikut prihatin atas nasib teman karibnya, Alif. Randai bahkan rela berbagi rumah kos dengan Alif. Randai juga sering meminjami alif uang. Randai jugalah yang merawat Alif ketika Alif sedang sakit tipus.
Randai digambarkan memiliki watak berkembang dalam novel ini. Hal ini yang menjadi salah satu daya tarik bagi novel karya Ahmad Fuadi ini.
3.3.1.2. Watak Randai dalam Novel Ranah 3 Warna
3.3.1.2.1. Sombong 
“Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar” (Fuadi, 2011:3). Randai dan Alif sedang memancing ikan di pinggir Danau Maninjau. Randai bertanya kepada Alif tapi terdengar sedikit meremehkan. Pertanyaan itu dijawab Alif dengan nada yang naik beberapa oktaf.
“Hmm. Kuliah di mana setelah di pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?” Pertanyaan Randai berentetan dan berbunyi sengau (Faudi, 2011). Ketika Randai dan Alif sedang memancing ikan di pinggiran Danau Maninjau, Randai terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Alif patah semangat.
3.3.1.2.1. Baik Hati
“Randai tampaknya kasihan padaku” (Fuadi, 2011). Sudah sebulan Alif tidak kunjung menemukan tempat kos yang cocok untuknya. Susah mencari tempat kos yang murah di Bandung. Randai memberi usulan agar Alir tinggal bersamanya. Alif dan Randai bisa membayar uang sewa dengan patungan. Hal itu sudah pasti akan meringankan beban Alif.
“Randai serius membantuku untuk berjualan pakaian” (Fuadi, 2011). Randai memesankan 30 potong pakaian dari Minangkabau. Alif hanya membeli ini dengan harga pokok saja. Setelah itu, Alif terserah mau menjual dengan harga berapa pun. Alif bahkan boleh membayar pakaian ini setelah laku. Tentu aturan ini mempermudah Alif.
3.3.1.2.1. Pantang Menyerah
“Tapi aku tahu dia sedang mengejar tenggat tugasnya besok pagi” (Fuadi, 2011). Alif telah menyelesaikan tulisan mentah untuk diserahkan kepada Bang Togar. Uang saku Alif tidak cukup untuk menyewa komputer di warnet. Dia putuskan saja untuk meminjam komputer milik Randai. Tapi dari tadi Randai sibuk dengan tugasnya. Alif mencoba merayu Randai agar Randai beristirahat. Namun Randai tidak kunjung menyerah. Randai melanjutkan tugasnya tanpa menghiraukan Alif.
3.3.1.3. Watak Ayah Alif Fikri dalam Novel Ranah 3 Warna
            Ayah Alif fikri termasuk tokoh tritagonis dalam novel ini. Beliau selalu mendukung Alif dan mengarahkan Alif dalam menentukan arah. Ayah Alif seorang yang bijaksana. Sebagai bekal untuk Alif di Bandung kelak, Ayahnya memberikan beberapa lembar rupiah dan sepatu hitam yang dipesan khusus dari pasar. Sebelum meninggal dunia, Ayah Alif berpesan agar Alif selalu melindungi Amak dan adik-adiknya.
3.3.1.3.1. Bijaksana
“Ayah mungkin yang paling tahu perasaan yang aku simpan. Setahun lalu, beliaulah yang datang jauh-jauh dari Maninjau menemuiku di Ponorogo, hanya untuk menjinakkan hatiku ketika aku ingin sekali keluar dari Pondok Madani auat PM” (Fuadi, 2011:5). Ayah Alif lah yang paling mengerti perasaan Alif ketika Alif ingin sekali keluar dari PM untuk melanjutkan sekolah di sekolah umum agar Alif mendapatkan ijazah.
“... Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas wa’ang untuk belajar keras,” kata Ayah sambil menyerahkan setumpuk kertas (Fuadi, 2011). Ayah Alif menempati janjinya kepada Alif untuk menguruskan segala keperluan agar Alif bisa mengikuti ujian persamaan SMA. Ayah Alif menyerahkan dokumen yang harus diisi oleh Alif.
“Nasihat singkat itu ditutup Ayah dengan doa bersama untuk perantauanku” (Fuadi, 2011). Sebelum berangkat ke Bandung, Ayah Alif menasehatinya agar selalu menjaga nama baik dan menghargai adat istiadat di Bandung. Setelah itu, Ayah Alif melanjutkan dengan doa bersama.
“Semoga bisa lulus UMPTN ya, Nak. Hanya biaya kuliah di universitas negeri yang mungkin bisa kita bayar,” kata Ayah lirih (Fuadi, 2011). Ayah Alif memberikan nasihat sekaligus penyemangat untuk Alif. Alif harus berjuang sungguh-sungguh untuk kedua ujian ini karena keadaan ekonomi keluarga Alif hanya mampu membiayayai dirinya di universitas negeri.
3.3.1.3. Watak Bang Togar dalam Novel Ranah 3 Warna
3.3.1.3.1. Tegas
“Yakin tahan? Aku akan didik kau keras seperti dulu, bahkan akan lebih keras. Siap kau?” (Fuadi, 2011). Alif kembali berguru kepada Bang Togar. Alif berharap dengan menulis dia bisa menghidupi dirinya dan mengirimi Amaknya di kampung. Meskipun cara mengajar Bang Togar sanagt keras dan kasar. Tapi Alif tidak akan mundur lagi.
“Enak saja 1 bulan. Kau hilang hampir setengah tahun, tau!” (Fuadi, 2011:138). Bang Togar menghardik Alif setelah hampir setengah tahun Alif tidak pernah menemuinya. Alif menjelaskan bahwa dia ingin berguru lagi pada Bang Togar.
“Mau pintar kok pakai tawar-tawar. Tulisan urusan kau. Kalau serius, datang bawa satu tulisan besok. Kalau tidak bisa, tidak usah sekalian. Titik” (Fuadi, 2011:68). Ketika Alif datang ke Bang Togar dan menyampaikan niatnya untuk berguru kepada Bang Togar. Bukan sambutan ramah yang diterima Alif, namun tugas yang harus dikumpulkan jam 8 pagi jika Alif benar-benat berniat berguru pada Bang Togar.
3.3.1.3.2. Baik hati
“Sabar ya, Lif. Doakan bapak kau sering-sering” (Fuadi, 2011). Mendengar bahwa Ayah Alif telah meninggal, raut Bang Togar berubah menjadi lebih kalem. Bang Togar berkomat-kamit sendiri mendoakan Ayah Alif.
“Sabar-sabar saja kau, ambil hikmahnya. Masih tahan,kan?” (Fuadi, 2011). Setelah seharian menggojloki Alif, Bang Togar memberinya semangat untuk terus belajar menulis.
“Dia memang orang Batak yang tanpa basa-basi. Keras, tapi aku tahu hatinya baik” (Fuadi, 2011). Setelah membaca surat yang dikirimkan Ayahnya kepada Bang Togar, Alif menjadi tahu mengapa Bang Togar selama ini mendidiknya dengan keras. Mengetahui semua ini, Alif semakin yakin bahwa sebenarnya Bang Togar berhati baik.
“Yang penting kasih orang yang nggak mampu, anak yatim piatu” (Fuadi, 2011). Alif menceritakan rasa kecewanya kepada Bang Togar kerana upayanya menulis dihargai Cuma Rp15.000,00 saja. Bang Togar menasehati Alif agar Alif menyisihkan sedikit rezekinya untuk anak yatim.
3.4. Alur Novel Ranah 3 Warna
Didalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, terdapat alur maju. Alur maju yang menceritakan perjuangan tokoh Alif dalam mendapat ijazah untuk pendidikan yang alebih tinggi, dikarenakan Alif yang hanya seorang lulusan pesantren. Penulis menggunakan alur maju mundur agar memudahkan pembaca mengetahui awal penyebab konflik terjadi. Sedangkan untuk klimaks, penulis menyuguhkan saat Alif berhasil lolos pertukaran pelajar ke Amerika dengan sedikit dibubuhi kisah percintaan Alif.
Menggunakan alur maju dapat dibuktikan dengan uraian sebagai berikut:
3.4.1. Tahap Penyituasian
Pada tahan ini penulis memperkenalkan situasi latar dan tokoh cerita. Berikut ini adalah tahap penyesuaian dalam novel Ranah 3 Warna: Alif adalah seorang lulusan dari Pesantren Pondok Madani. Alif berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan di jalur umum dan belajar di Amerika. Tujuan utamanaya adalah ITB, dia ingin menjadi seorang layaknya Habibie.
Untuk melanjutkan pendidikan di jalur umum, tentunya Alif membutuhkan ijazah. Untuk mendapatkan ijazah Alif harus mengikuti ujian persamaan SMA. Meskipun semua meremehkan Alif, namun dia tidak pantang menyerah. Segala upaya dilakukannya. Mulai dari meminjam  buku pelajaran SMA, catatan pelajaran, serta doa yang tidak pernah putus.
Alif mecoba untuk realitas. Ujian persamaan tinggal dua bulan, namun tidak satu pun rumus kimia, fisika, dan matematika yang dia pahami. Alif tidak mungkin menguasai pelajaran IPA dalam waktu dua bulan. Akhirnya Alif memutuskan untuk berubah “arah”. Alif memutuskan untuk mengambil jurusan IPS. Tidak ada bidang studi yang dimanati Alif di jurusan IPS. Tiba-tiba Hubungan Internasional UNPAD menarik perhatiannya, mungkin dengan ini Alif bisa belajar di Amerika.
Keinginan Alif untuk belajar di jalur umum dan di Amerika dibuktikan dengan kutipan berikut, “Aku ingin lulus UMPTN, kuliah di jalur umum untuk bisa mewujudkan impianku ke Amerika” (Fuadi, 2011). Semua orang meremehkan impian Alif. Namun Alif tidak menyerah begitu saja. Dia tetap berusaha sekuat tenaga. Alif meyakini bahwa hanya dia dan Tuhan yang bisa mengubah nasibnya.
Banyak yang meremehkan impian Alif, namun ada juga yang prihatin dengan Alif. “...Aden saja yang lulusan SMA favorit tidak tembus UMPTN. Berat benar. Coba D3 yang lebih ringan persaingannya dan bisa cepat kerja,” kata Zulman meyakinkan bahwa aku akan senasib dengannya (Fuadi, 2011).  Selain meremehkan, ada juga yang simpati kepada Alif. Seperti Zulman, Zulman menyarankan agar Alif mencoba D3 saja agar tidak terlalu banyak sainagn dan bisa langsung bekerja. Namun pendap teman-teman Alif tidak ada yang dia hiraukan. Alif tetap yakin pada impiannya. Pada ITB, dan pada Amerika.
Keputusan Alif untuk masuk Hubungan Internasional UNPAD dapat dibuktikan dengan kutipan “Tiba-tiba jariku berhenti. Hubungan Internasional” (Fuadi, 2011:14). Alif membolak-balik panduan UMPTN dan formulir yang baru dia beli. Tidak ada bidang studi yang menarik minatnya. Tiba-tiba jarinya berhentin di HI UNPAD. Alif tertarik dengan Hubungan Internasional. Mungkin saja jika Alif masuk di jurusan ini dia bisa belajar sampai Amerika.
3.4.2. Tahap permunculan masalah
Pada tahap ini tokoh Alif sedang mengincar kursi di Jurusan Hubungan Internasional UNPAD. Setelah berhasil diterima di UNPAD, Alif harus bersiap-siap untuk merantau ke Bandung. Berbekal beberapa lembar rupaih dan sepatu hitam yang dipesan khusus di pasar oleh Ayahnya juga doa yang tidak pernah putus, Alif berangkat ke Bandung. Di Bandung, Alif tinggal di kos Randai. Karena biaya kos di Bandung mahal, Alif memutuskan untuk tinggal di kos Randai. Untuk pembayarannya, Alif dan Randai patungan. Hal itu memang sangat meringankan beban Alif.
Alif mulai belajar menulis. Dia berguru oleh mahasiswa di UNPAD. Keberanian Alif menghadapi kekerasan watak dan kesombongan Bang Togar, akhirnya berbuah manis. Tulisan Alif bisa dimuat di majalah kampus.
3.4.3. Peningkatan konflik
            Pada tahap ini beban hidup Alif semakin bertambah.  Ketika Ayahnya meninggal, Alif semakin bimbang. Apakah dia akan melanjutkan kuliahnya atau berhenti dan membantu Amak mencari nafkah di kampung. Alif menyampaikan niatnya untuk berhenti kuliah kepada Amaknya. Namun, Amak Alif sangat tidak menyetujui niatan Alif. Amaknya berkata kepada Alif bahwa beliau masih sanggup membiayai Alif dan adik-adiknya.
            Karena tidak tega harus meminta uang kepada Amaknya, Alif bekerja menjadi guru les privat, pedagang kain dari Minangkabau, bahkan seles perabotan rumah tangga dan alat kosmetik.
            Kehidupan yang dialami Alif semakin berat hingga ketika dia dirampok orang yang tidak dikenal dan dia divonis dokter terkena penyakit typus. Disitulah masa dimana Alif benar-benar putus asa.
            Kutipan ini menjelaskan keadaan Alif setelah kematian Ayahnya, “         Selama perjalananku dari Maninjau ke Bandung hatiku buncak tidak tertentu” (Fuadi, 2011). Ketika Ayahnya meninggal, Amaknya harus bekerja keras demi membiayayai dirinya dan kedua adiknya. Alif merasa tidak tega melihat keadaan ibunya. Alif bimbang, apakah Alif harus berhenti kuliah dan membantu Amaknya di kampung atau tetap kuliah sesuah pesan Amaknya.
            Kutipan ini menjelaskan ketika Alif dirampok oleh dua orang laki-laki yang tidak dia kenal, “Mau leher maneh ditebas celurit atau....?” (Fuadi, 2011). Ketika hujan deras, Alif berteduh. Ketika itu ada dua orang laki-laki yang merampok Alif. Alif sudah mencoba untuk melawan walau hanya dengan kata-kata yang lirih. Namun kedua perampok itu tidak kunjung berbelas kasih kepada Alif sampai akhirnya semua barang dagangan Alif diambil paksa oleh kedua perampok itu.

3.4.4. Tahap klimaks
Alif mencoba mengikuti tes seleksi pertukaran pelajar ke Amerika. Ketika sedang tes, Alif melihat Raisa dan Randai di sana. Raisa dan Randai juga mengikuti seleksi pertukaran pelajar ke Amerika. Namun hanya Alif dan Raisa yang berhasil lulus dalam seleksi pertukaran pelajar ke Amerika tersebut. Alif, Raisa beserta yang lulus lainnya berangkat ke Quebec, Kanada. Disana mereka berkompetisi untuk memperebutkan medali dengan berprestasi dan diakui oleh komunitas masyarakat tempat dimana mereka tinggal. Selama di Kanada, Alif menyadari bahwa ia jatuh cinta kepada Raisa.
Kutipan ini menjelaskan bahwa Alif berhasil mendapatkan beasiswa ke Kanada, “Sehari menjelang keberangkatan ke Kanada, kami mengadakan malam perpisahan yang dihadiri oleh pejabat negara dan karib keluarga” (Fuadi, 2011). Akhirnya Alif berhasil meraih impiannya untuk belajar ke Amerika. Sehari menjelang keberangkatan mereka ke Kanada, meraka mengadakan malam perpisahan dengan pejabat negara dan karib keluarga. Malam itu, Alif memakai jas biru tua dan emblem merah putih di dada kiri dan sebuah pin logam keemasan berbentuk garuda yang tersemat dipeci beludru hitam.
Kutipan ini menjelaskan bahwa Sebastien mengumumkan adanya kompetisi untuk memperebutkan medali dengan berprestasi dan diakui oleh komunitas masyarakat tempat dimana mereka tinggal, “Ini mendali yang sudah kami siapkan bagi tiga orang terbaik, emas, perak, dan perunggu” (Fuadi, 2011). Sebastian mengumkan adanya kompetisi untuk merebutkan mendali. Alif sangat tertarik untuk memenangkan kompetisi ini.
3.4.5. Anti klimaks
Pada tahap ini penulis menceritakan Alif berhasil mendapatkan medali emas atas prestasinya dalam mewawancarai Monsieur Daniel Javier, salah satu tokoh utama referendum Quebec. Alif bersiap untuk pulang ke Indonesia walaupun sedih harus berpisah dengan orangtua angkatnya selama di Quebec. Alif berjanji akan mengunjungi homologuenya jika ada kesempatan. Sebelum rombongan pertukaran pelajar dari Indonesia, mereka berencana mengadakan upacara bendera untuk memperingati Hari Pahlawan di puncak tertinggi Saint-Raymond.
Alif merasa kalau dia jatuh cinta pada Raisa. Alif pun berniat untuk mengutarakan perasaannya ke Raisa. Dia berniat menyampaikan surat yang isinya tentang perasaan Alif kepada Raisa.
Kutipan ini membuktikan bahwa Alif berhasil mewawancarai Monsieur Daniel Javier, salah satu tokoh utama referendum Quebec, “Monsieur Janvier, di negara saya ada praktik yang dikenal sebagai ‘serangan fajar’ pada hari pemungutan suara” (Fuadi, 2011). Alif sedang mewawancarai Monsieur Daniel Javier, salah satu tokoh utama referendum Quebec. Alif menanyakan pertanyaan seputar referendum Quebec yang baru terjadi.
Kutipan ini menjelaskan bahwa rombongan pertukaran pelajar dari Indonesia akan mengadakan upacara di puncak tertinggi Saint-Raymond untuk memperingati Hari Pahlawan, “Bagaimana kalau di puncak tertinggi Saint-Raymond? Namanya Mont Laura. Baru kemarin... ” (Fuadi, 2011). Alif mengusulkan pendapat mengapa upacara peringatan Hari Pahlawan tidak dilaksanakan di di puncak tertinggi Saint-Raymond, Mont Laura. Di sana nantinya mereka akan mengundang homologue masing-masing dan warga Kanada.
3.5. Latar Novel Ranah 3 Warna
3.5.1. Latar Tempat Novel Ranah 3 Warna
Dalam novel “Ranah 3 Warna” karya Ahmad Fuadi, berlatar tempat pada daerah kelahiran Alif Fikri yaitu danau Maninjau dan kemudian beranjak pada daerah Bandung tempat Alif kuliah di UNPAD, dan kemudian Negara Amman, Yodarnia ketika akan menuju Kanada. Kemudian tempat terakhir yaitu Kanada. Karena pada dasarnya penulis berasal dari kampung Buya Hamka yang berada di sekitar Danau Maninjau, sehingga mudah bagi penulis membuat Danau Maninjau semakin nyata.
3.5.1.1. Sumatra Barat
“Aku duduk di sebuah aula luas milik IKIP Padang bersama ratusan anak muda lain sari segala penjuru Sumatra Barat” (Fuadi, 2011). Hari ini adalah hari dimana Alif menghadapi UMPTN. Hari yang menentukan masa depan Alif. Berbekal usaha dan keyakinan, Alif mulai mengerjakan soal UMPTN.
3.5.1.2. Maninjau
“Setelah ujian, aku pulang ke Maninjau dengan hati yang tidak pernah tenang” (Fuadi, 2011). Ketika mengerjakan soal UMPTN, Alif hanya percaya diri pada soal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Selain itu, Alif pasrah kepada Tuhan. Setelah selesai ujian, Alif langsung pulang kerumah. Setiap harinya dia tidak pernah tenang. Alif selalu memikirkan hasil ujiannya.
“..., dua jenis ikan kecil yang hanya ada di Danau Maninjau, dan teriakan Randai yang lagi-lagi mendapatkan ikan yang entah berapa ekor” (Fuadi, 2011:3). Alif merasa kacau setelah mendengar pertanyaan dari Randai yang lebih terdengar menjatuhkan semangatnya. Alif bertanya-tanya dalam hati apakah dia bisa mengejar imipiannya.
3.5.1.3. Bandung
Bandung adalah tempat yang menjadi dominan tokoh Alif mengalami konflik. Penulis menceritakan secara gamblang bagaimana Kota Bandung itu. Mulai dari budayanya, ragam masyarakatnya, sampai bahasa sunda pun turut di campurkan dalam kisah Alif demi benar-benar menghadirkan Kota Bandung sebegai salah satu latar tempat dari novel ini.
“Rem angin bus ANS mendesis-desis ketika mulai memasuki wilayah kota Bandung” (Fuadi, 2011). Sesampainya di Bandung Alif bingung tinggal dimana. Alif ingat tentang tawaran Randai tempo hari yang mengajaknya menginap di kamar kosnya sampai dia mendapatkan kos baru. Namun Alif masih kesal dengan omongan Randai tempo lalu yang meremehkannya. meskipun begitu Randai adalah teman terdekat Alif. Alif harus mampu membuang jauh-jauh rasa kesal itu.
Hoi, sampai juo kawan ko di Banduang. Ah, sampai juga kawan ini di Bandung” (Fuadi, 2011:44). Alif tiba di rumah kos randai yang berada di antara rumah-rumah penduduk di salah satu ujung gang. Randai langsung menyambut kedatangan Alif dengan hangat. Dia membuatkan kopi hangat dan memesan nasi goreng untuk dimakan Alif.
“Sore itu langit Bsndung kelam dan angin datang menderu-deru” (Fuadi, 2011). Sore hari di Bandung, langit mulai meneteskan air. Alif terburu-buru menuju rumah kos Randai agar tidak kehujanan. Di gang jalan, Alif bertemu dengan gadis periang. Angin yang berhembus kencang menarik topi wol dan payungnya ke arah Alif. Alif mengambil kedua benda itu dan memberikannya kepada gadis itu.
3.5.1.4. Amman-Yordania
“Yordania ini berada di daerah rawan konflik” (Fuadi, 2011). Tyson menerangkan bagaimana keadaan Negara Yordania yang berada di daerah rawan konflik kepada Alif dan teman-temannya.
“Teman-teman semua, Yordania ini unik karena tempat bertemunya tiga budaya yang besar, yaitu Bizantium, Romawi, dan Islam” (Fuadi, 2011). Tyson kembali memberi penjelasan kepada Alif dan teman-temannya. Ketika itu, bus mereka sedang ada berada di bukit sehingga Alif dan teman-temannya bisa melihat kota Amman dengan leluasa.
3.5.1.5.  Kanada
“Tidak salah kalau orang Kanada menjadikan daun maple merah sebagai gambar bendera mereka” (Fuadi, 2011:256). Ketika rombongan pertukaran pelajar dari Indonesia sampai di terminal Kanada yang teduh, Alif julurkan tangannya untuk menyentuh daun mapel. alif juga memegang tanah Kanada yang berwarna abu-abu kering. Alif begitu senang ketika dirinya sampai di Kanada.
“Alif, saya ingih minta bantuan kamu untuk mengajarkan cara menulis selama kita di Kanada ini. Mau ya?” (Fuadi, 2011). Raisa meminta Alif untuk mengajarinya menulis. Alif tentunya dengan senang hati menerima permintaan Raisa.
3.5.1.6. Quebec-Saint Raymond
“Bus kuning kami menderum di jalan mulus Quebec” (Fuadi, 2011). Alif dan rombongan pertukaran pelajar bertemu dengan para homologue yang akan menjadi orang tua asuh selama mereka berada di Quebec-Kanada. Alif berharap dalam hati agar dia nantinya mendapatkan homologue yang baik.
“Bagaimana kalau di puncak tertinggi Saint-Raymond? Namanya Mont Laura. Baru kemarin... ” (Fuadi, 2011). Alif mengusulkan pendapat mengapa upacara peringatan Hari Pahlawan tidak dilaksanakan di di puncak tertinggi Saint-Raymond, Mont Laura. Di sana nantinya mereka akan mengundang homologue masing-masing dan warga Kanada.
3.5.2. Latar Waktu Novel Ranah 3 Warna
3.5.2.1. Pagi
Pagi-pagi aku lihat selimt dan sepraiku di sekelilingku kusut masai” (Fuadi, 2011:25). Alif ingat, semalaman dia bermimpi menjadi salah satu pemain tim Denmark. Alif bertekad untuk menghadapi UMPTN dengan semangat seperti dinamit layaknya tim Denmark yang menjadi juara piala Eropa.
“Belum pernah aku mellihat senyum Ayah seperi pagi ini. Tanpa suara, sungguh senyum yang lebar dan terang” (Fuadi, 2011). Alif dan Ayahnya meneliti satu persatu nomer peserta yang lulus UMPTN tahun ini. Ketika meraka menemukan nomer ujian Alif masuk dalam salah satu peserta ujian yang lulus, Ayah Alif dan Alif bersujud syukur. Alif tersenyum bahagia atas kerja kerasnya tidak sia-sia. Ayahnya pun tidak kalah bahagianya mengetahui hal ini.
“Lalu terdengar suara orang batuk-batuk kecil, lalu mendeham kencang, dilanjutkan dengan alunan azan Subuh” (Fuadi, 2011). Alif terbangun karenan suara azan. Alif menggeliat kedinginan kemudian Alif bangun. Alif melihat sekeliling rumah kos randai yang luas.
“Pagi-pagi buta Amak membangunkanku” (Fuadi, 2011). Alif akan kembali ke Bandung pagi hari. Namun pagi-pagi buta Amaknya sudah membangunkannya. Amaknya menyuruh Alif melihat keadaan Ayahnya yang sedang sekarat.
“Pagi itu Bandung hujan lebat dan banyak teman yang terlambat masuk kelas Politik Internasional,...” (Fuadi, 2011). Memet kawan Alif terlambat masuk kelas. Dia membawa koran basah yang terlipat. Dengan bangga Memet memberikan koran itu kepada Alif. Di halaman depan terpampang judul artikel yang dikirim Alif di koran harian Manggala.
3.5.2.2. Malam
“Aku menggeliat dan melihat jam. Sudah jam 8 malam” (Fuadi, 2011). Kali pertama Alif datang ke Bandung, dia berhenti di depan kantor ANS. Alif memandangi sekitar. Tiba-tiba ada yang menyarankannya naik angkot dari kantor ANS ini baru kemudian naik angkot hijau ke Dago.
“Rambut dan bajuku basah, tapi aku tidak berani berhenti keran takut akan semakin kemalaman” (Fuadi, 2011). Alif terburu-buru masuk gang di sebelah Pasar Simpang. Saat itu hujan deras sekali. Di tengah jalan ada seorang tukang bakso yang baik hati menunjukan jalan di gang yang berliuk-liuk ini.
“Kadang-kadang aku terjaga tengah malam” (Fuadi, 2011). Sudah dua minggu Alif berbaring di kasur tipisnya karena sakit tipesnya tidak kunjung sembuh. Alif merasa bosan sekali dengan keadaannya kali ini.
“Pada suatu malam, setelah aku disuruh menulis artikel hanya dalam 1 jam, dia memanggilku duduk berangin-angin di teras rumah kosnya” (Fuadi, 2011). Bang Togar menyerahkan sepucuk surat kepada Alif. Alif membaca surat itu, ternyata surat itu dari ayahnya. Seminggu sebelum Ayahnya meninggal, beliau menitipkan Alif kepada Bang Togar. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Bang Togar melatih Alif dengan keras.
3.5.2.3. Sore
“Sore itu langit Bsndung kelam dan angin datang menderu-deru” (Fuadi, 2011). Sore hari di Bandung, langit mulai meneteskan air. Alif terburu-buru menuju rumah kos Randai agar tidak kehujanan. Di gang jalan, Alif bertemu dengan gadis periang. Angin yang berhembus kencang menarik topi wol dan payungnya ke arah Alif. Alif mengambil kedua benda itu dan memberikannya kepada gadis itu.
“Beberapa kali aku melihat dia duduk di teras kos seberang hanya untuk mengobrol dengan Raisa sore-sore” (Fuadi, 2011). Alif merasa bahwa Randai juga menyukai Raisa. Randai selalu bersemangat jika bercerita tentang Raisa. Alif merasa sedikit risih jika mengetahui hal itu. Alif tidak mau kalah, dia selalu mengajak Raisa mengoblol tentang apapun ketika Alif sedang tidak sibuk belajar.
“Sore itu, sepulang kuliah, dengan naik angkot aku antar naskahku ke redaksi sebuah koran daerah” (Fuadi, 2011). Alif hendak mengirimkan naskah pertamanya yang berjudul “Diplomasi Alternatif buat Negara Palestina” ke redaksi koran harian Manggala.
3.5.3. Latar Suasana Novel Ranah 3 Warna
3.5.3.1. Tegang
Satu-satu butir keringat dingin merambat turun di kening dan punggungku. Astagfirllah, banyak soal yang di luar perkiraanku. Beberapa soal aku sama sekali tidak tahu jawabannya” (Fuadi, 2011). Alif sedang duduk di sebuah aula yang besar. Dia sedang mengerjakan soal UMPTN. Hanya beberapa soal yang bisa dijawabnya. Ada yang dia tahu samar-samar. Bahkan ada yang dia tidak ketahui jawabannya.
“Setelah ujian, aku pulang ke Maninjau dengan hati yang tidak pernah tenang” (Fuadi, 2011). Ketika mengerjakan soal UMPTN, Alif hanya percaya diri pada soal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Selain itu, Alif pasrah kepada Tuhan. Setelah selesai ujian, Alif langsung pulang kerumah. Setiap harinya dia tidak pernah tenang. Alif selalu memikirkan hasil ujiannya.
“Aku makin gelisah, waktu rasanya berdetak pelan sekali” (Fuadi, 2011). Alif terus tegang dan gelisah menanti hasil UMPTN. Dia menunggu bus harmonis membawakan surat kabar Haluan yang memuat hasil UMPTN.
“Kali ini para senior benar-benar melabrak kami. Di tengah hiruk pikuk aku merasa keningku dihantam sebuah tangan” (Fuadi, 2011). Setelah ospek universitas, Alif melaksanakan ospek jurusan. Semua kakak senior semakin tidak jelas menindas para junior. Para junior menganggap ospek ini tidak ada manfaatnya. Wira, Agam, dan Alif mencoba melawan para senior yang bersikap makin kurang ajar. Di ikuti oleh para junior yang lain, terjadilah adu fisik dan mulut antara senoir dan junior.
“Tulang tangannya yang kurus menjepit kerongkonganku dari belakang. Aku ingin meronta tapi urung karena sebuah benda dingin melingkari dan menekan urat leherku” (Fuadi, 2011). Malam hari dengan hujan yang sangat deras. Alif melihat dua sosok bayangan yang mengikutinya. Tiba-tiba banyangan itu mengerjap Alif, mamaksa Alif untuk menyerahkan uang dan harta yang dia punya.
3.5.3.2. Bahagia
“Belum pernah aku mellihat senyum Ayah seperi pagi ini. Tanpa suara, sungguh senyum yang lebar dan terang” (Fuadi, 2011). Alif dan Ayahnya meneliti satu persatu nomer peserta yang lulus UMPTN tahun ini. Ketika meraka menemukan nomer ujian Alif masuk dalam salah satu peserta ujian yang lulus, Ayah Alif dan Alif bersujud syukur. Alif tersenyum bahagia atas kerja kerasnya tidak sia-sia. Ayahnya pun tidak kalah bahagianya mengetahui hal ini.
“Aku benamkan wajahku ketelapak tangan dan aku bisikkan “amin” yang bergetar panjang” (Fuadi, 2011). Sebelum berangkat ke Bandung, Ayah Alif menasehatinya agar selalu menjaga nama baik dan menghargai adat istiadat di Bandung. Setelah itu, Ayah Alif melanjutkan dengan doa bersama.
3.5.3.3. Sedih
“Aku prihatin menatap menatap Ayah. Sudah aku perhatikan sejak beberapa minggu ini mukanya semakin tirus dan pucat. Aku bahkan tidak berani meninggalkan Ayah dalam kondisi begini” (Fuadi, 2011).  Dua hari menjelang keberangkatan Alif, Ayahnya bicara dari hati ke hati. Ayah Alif mengatakan bahwa Ayahnya tidak bisa ikut mengantar Alif sampai Bandung karena kondisi Ayahnya yang kurang sehat.
3.5.3.4. Haru
“Aku tidak mau terbawa haru melihat empat orang yang aku sayangi melambai-lambaikan tangan tak putus-putus” (Fuadi, 2011). Setelah berpamitan kepada Ayah dan Amak juga kedua adik-adiknya, Alif segera berangkat ke Bandung. Alif tidak ingin ikut terharu jika melihat wajah keempat orang yang dia sayangi melambai-lambaikan tangan.
“Lalu beberapa isakan pecah pelan-pelan. Terbit dari arah Amak dan adik-adikku yang duduk di pinggir dipan. Mereka berangkulan” (Fuadi, 2011). Ayah Alif telah menghembuskan nafas terakhir di rumah. Amak dan adik-adiknya menangis sejadi-jadinya.
“Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillah wainna ilahi rajiun” (Fuadi, 2011). Ayah Alif telah meningal dunia. Alif masih tidak percaya dengan ini. Dipandangnya wajah dingin Ayahnya. Alif mencoba ikhlas dengan hal ini karena dia tahu bahwa kematian adalah hal yang paling pasti dalam dunia ini.
3.6. Sudut Pandang Novel Ranah 3 Warna
            Sudut pandang yang ditentukan oleh pengarang dalam novel ini adalah orang pertama pelaku utama. Dari tahap pengenalan masalah sampai tahap anti klimaks “Aku” selalu bercerita tentang dirinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan, “Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillah wainna ilahi rajiun” (Fuadi, 2011). Ayah Alif telah meningal dunia. Alif masih tidak percaya dengan ini. Dipandangnya wajah dingin Ayahnya. Alif mencoba ikhlas dengan hal ini karena dia tahu bahwa kematian adalah hal yang paling pasti dalam dunia ini.
“Aku tidak mau terbawa haru melihat empat orang yang aku sayangi melambai-lambaikan tangan tak putus-putus” (Fuadi, 2011). Setelah berpamitan kepada Ayah dan Amak juga kedua adik-adiknya, Alif segera berangkat ke Bandung. Alif tidak ingin ikut terharu jika melihat wajah keempat orang yang dia sayangi melambai-lambaikan tangan.
“Aku benamkan wajahku ketelapak tangan dan aku bisikkan “amin” yang bergetar panjang” (Fuadi, 2011). Sebelum berangkat ke Bandung, Ayah Alif menasehatinya agar selalu menjaga nama baik dan menghargai adat istiadat di Bandung. Setelah itu, Ayah Alif melanjutkan dengan doa bersama.
3.7. Amanat Novel Ranah 3 Warna
            Penulis menyampaikan satu amanat yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna ini. Amanat dalam novel Ranah 3 Warna yaitu, kita sebagai umat beragama diwajibkan untuk menuntut ilmu. Tidak peduli dengan jauhnya jarak dan waktu. Menuntut ilmu tidak mengenal umur. Meskipun rintangan menghalangi, jika kita teguh membela mimpi kita, maka Tuhan akan menolong kita. Seperti tokoh Alif yang diceritakan oleh Ahmad Fuadi sebagai seorang santri yang baru lulus, Alif ingin meneruskan pendidikannya di sekolah umum agar impiannya menjadi seorang Habibie dan keinginannya belajar di Amerika bisa terwujud. Berbekal niat yang teguh serta doa yang tulus, Alif mampu melewati ujian persamaan SMA dan UMPTN. Meskipun tidak pada impian awalnya—ITB, namun Alif sangat bersyukur dirinya bisa kuliah di UNPAD jurusan HI. Tidak cukup dengan itu, Alif mencoba mengikuti tes seleksi pertukaran pelajar ke Amerika. Melalui pertimbangan juri akhirnya Alif bisa lolos seleksi pertukaran pelajar di Amerika.

Hak Cipta Oleh:
Almadinda Violita Sarajivo