Arsip Blog

Sabtu, 29 Desember 2012

Elegi dalam Nada, ini cerpen pertama saya. Silahkan membaca. Mohon kritik dan saranya. karena tulisan ini jauh dari kata sempurna. Terima kasih.


Elegi dalam Nada

Kiran dan Karan. Seperti 2 hal yang tidak bisa dipisahkan. Kalau Karan adalah langit, Kiran adalah laut. Laut akan terlihat indah jika dinaungi langit yang terang. Entah itu karna sinar matahari atau karena sinar bulan. Tapi kadang kala Kiran menjadi kucing dan Karan menjadi anjing. Selalu bertengkar! Tidak ada yang mau mengalah. Dan ujung-ujungnya Kiranlah yang menangis untuk mengakhiri pertunjukan gulat mereka. Karan dan Kiran juga bukan adik dan kakak. Namun rasa sayang diantara mereka sudah seperti saudara kembar yang pernah berbagi rahim seorang ibu dalam jangka waktu yang sama. Kedekatan mereka dimulai ketika orang tua Kiran terpaksa pindah rumah ke desa kecil di pedalaman Ponorogo. Entah kebetulan atau memang takdir, rumah keluarga Kiran dan Karan bersebelahan. Sejak saat itu Karan selalu bermain dengan Kiran. Kemanapun Kiran pergi Karan selalu mengikuti. Ke sungai-ke ladang-ke gunung-ke bukit.
Semakin lama, Karan semakin menunjukkan sisi “langit”nya. Membuat sedikit demi sedikit sisi “laut” Kiran terlihat. Karan dan Kiran. Ya!, mereka begitu polos hingga mereka tak menyadari tali takdir mereka bertabrakan, kemudian berbelok-memutar-mundur hingga ruwet dan tidak bisa terurai satu-satu. Memaksa mereka untuk selalu bersama. Selalu. Selamanya.

♬♬♬
 “Mas, Bapakku beli TV baru lho. Bagus banget. Lebih bagus dari punya Mas Karan yang setengah layarnya udah penuh semut perang”.
“Ooo kurang ajar! Ngeledek kamu!
“Biarin! Aduuuuh awas sampek nyubit! Gak tak bolehin liat lho”.
“Iya-iya nduk ayu. Jadi Mas ndak boleh lihat TV baru nih?”
“Hmm… gimana ya?”
Kiran langsung menyergap tangan Karan. Dibawanya Kiran masuk kedalam ruang tamunya. Duduk bersamanya sambil menunggu sang surya menuju tempat peraduannya.
Kiran sibuk memilah-milah chennel yang apik ditonton. Memencet tombol channel up diremote, kemudian channel down, lalu volume min, atau volume maks.
Sebuah channel stasiun milik swasta tiba-tiba menyedot seluruh perhatian Kiran. Sedikitpun Kiran tidak ingin membagi perhatiannya kepada siapapun dan apapun. Pandangan mata Kiran lurus menatap layar TV. Mencoba menikmati nada yang asing baginya namun dapat menentramkan siapapun yang mendengarnya. Kiran juga sibuk berfantasi. Menganai-andai jika dirinyalah yang ada di dalam TV, memakai gaun putih dengan rambut terurai. Memainkan tuts-tuts piano dengan anggun.
Gemuruh tepuk tangan penonton sontak membuyarkan fantasinya. Menyuruhnya sadar dengan realita yang tak mungkin menjadikannya wanita cantik di TV itu. Mengubah total raut muka Kiran dari “kuning” menjadi “hitam” keruh lagi!
“Kenapa cemberut? Tadi acaranya mulai serius banget lihatnya. Sekarang kok sedih gini. Kenapa nduk cantik?”
Kiran tersenyum, namun senyum lesu, Kiran menceritakan fantasinya kepada Karan. Tentang keinginannya memainkan tuts-tuts di atas panggung megah. Tentang dirinya yang ingin memakai gaun putih sambil tersenyum elegan kepada penonton. Namun semua memang hanya keinginan-hanya perandai-andaian-saja!
Jangan sebut Karan jika dia tidak bisa membangkitkan lagi senyum Kiran yang sempat mati suri beberapa menit yang lalu. Karan menggenggam tangan Kiran kuat-kuat. Tersenyum begitu manis. Karan berjanji akan mengabulkan keinginan Kiran.
“Tapi, Kiran kan ndak punya piano kaya yang di TV tadi kak?”
 “Hm.. iya ya. Kita beli pake uang kita berdua aja. Kita sama-sama nabung. Kalau sudah banyak, nanti uang kita digabung. Terus berangkat ke kota deh. Setuju? Sementara ini kamu belajar sama temen Mas aja yang jago main piano. Nanti kalo sudah beli pianonya, kan, langsung bisa main?”
Raungan Kiran tidak membuyarkan sedikitpun senyum di wajah Karan. Meskipun dia tak yakin akan mampu mengabulkan keinginan Kiran. Berjanji berarti memberi harapan.
“Beneran, Mas?”
“Memang tampangnya Mas ini kayak tampang pembohong?”
Seketika semburat rona merah muncul bersamaan dengan tawa Kiran. Seperti magnet, Karan juga ikut tersenyum. Begitu lepas. Tanpa memikirkan janjinya kepada Kiran akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak.

♬♬♬
“Bagaimana ya caranya beli piano buat Kiran? Piano kan harganya mahal. Panen gabah setahun bapak aja ndak mungkin bisa nyukupin beli pianonya”.
“Ada apa toh, le? Kok wajahnya ditekuk. Mana itu Kiran? Kok, tumben ndak main ke rumah?”
“Lagi belajar piano sama Mirna. Buk’e, Karan boleh minta pendapat ndak?”
Ono-ono ae to Kiran iku. Wong ndeso kok main piano barang. Adanya ya main gamelan. Nanti bisa buat reog-kan kalo pas Agustus. Hahaha. Pendapat apa toh, le? Ya jelas boleh to sayang”.
Aku tak menghiraukan sama sekali candaan ibu. Aku hanya ingin bercerita. Memuntahkan segalanya yang menyesakkanku. Ragu-ragu aku menceritakan isi hatinku yang selama ini menyesatkan pikiranku. Ada rasa takut, namun, janjiku kepada Kiran mengalahkan segalanya.
“Bu, kalo habis UNAS nanti Karan boleh ndak kerja di Jakarta? Sekalian sama kuliah disana”.
“Kamu mau tinggal dimana? Di Jakarta itu keras. Banyak pencopet, pembunuhan. Para penjahat sampai para koruptor sarangnya ada di Jakarta”.
Sontak aku kaget dengan nada bicara ibu. Tak pernah-pernahnya ibu bicara sekeras itu. Biasanya kalau ibu tidak suka, ibu hanya bilang jangan. Tapi, kepalang tanggung. Sudah terlanjur basah. Ku teruskan saja niatku.
“Karan kan bias tinggal di rumah Pakdhe Suryadi. Saudara bapak yang punya perusahaan mebel yang cukup terkemuka di Jakarta. Nanti Karan bakal kerja paruh waktu di perusahaannya Pakdhe Sur”
“Ibu takut, le. Kamu ini anak satu-satunya ibu sama bapak. Kalau kamu kenapa-napa, sapa nanti yang nolong kamu. Pakdhe Sur kan orangnya sibuk. Jarang ada dirumah. Budhe Sur mu itu, hm… kamu tau kan? Beliau ndak seberapa peduli sama anak-anak dari saudara Pakdhe mu? Maklumlah kita ini orang ndak mampu. Ibu mohon jangan ya, tole”.
Sudah kehabisan akal aku memohon pada ibuku. Tapi aku tetap harus memperjuangkannya. Tak tega memang aku melihat ibuku yang sudah tua ini ku tinggal jauh. Tapi bagaimana lagi. Ini semua salahku. Salahku karena aku tak mampu melihat Kiran sedih.
“Ibu Karan mohon? Karan janji akan berkirim surat tiap 1 minggu sekali. Akan berkunjung tiap ada libur panjang. Bagaimanapun kondisinya Karan janji akan pulang. Ini juga kan demi kebaikan kita semua, bu. Karan juga ingin mengangkat derajat keluarga kita. Karan ingin ibu sama bapak tidak bekerja keras lagi. Boleh ya, bu? Karan juga sudah pernah berjanji untuk membelikan piano buat Kiran. Kalau Karan mengandalkan hasil bekerja Karan diladang dan sawah milik pak kades, itu tidak akan mungkin bisa membeli piano untuk Kiran”.
“Oh.. ini ada unsur Kirannya toh? Kalau sudah menyangkut Kiran, kamu susah untuk dicegah, le. Meskipun ibu agak berat tapi ibu akan pertimbangkan lagi. Ibu mau mandi terus sholat di sarau dulu. Kamu juga mandi sana. Sholat. Minta doa sama Allah. Biar niatmu itu diluruskan. Nanti malam ibu akan bicara pada bapakmu”.
Rasa lega yang begitu besar menyiram dahaga pikiranku yang selama ini tak kunjung ada titik temu.

♬♬♬
Le, ibu sama bapak sudah bicara kemarin malam. Kamu disana hati-hati. Kamu harus bener-bener nurut sama Pakdhe Sur. Masalah budhemu, hm… kamu bisa kan mengatasinya? Yang penting kamu jangan banyak tingkah disana. Opo onok e wae. Seng peka karo budhe lan pakdhemu. Mangke bapak bakal ngirimi sampeyan arto. Dicukup-cukupkan yo, le. Ojok lali. Iki seng paling penting! Ojok lali karo gusti Allah. Solatnya jangan ada yang bolong. Paham kamu, le?”
“Bener buk’e? Bu’e merestui Karan?
Ibuku mengangguk pelan, disusul dengan semyum beliau yang manis. Aku tahu sebenarnya ibu menyembunyikan rasa khawatirnya dibalik senyumannya. Tapi apa boleh buat, ini demi Kiran juga demi bapak dan ibu.

♬♬♬
Setelah percakapanku dengan ibuku tempo hari yang lalu. Sudah ada kelapangan dihatiku yang membuat semangat belajarku kembali.
3 bulan ku lewati dengan lurus. Memang aku sedikit mengabaikan Kiranku. Membiarkannya bermain sendiri demi mendapatkan bekal nilai yang cukup untuk masuk universitas di Jakarta nanti. Sementara ini, aku belum memberi tahukan niatku untuk pergi ke Jakarta. Aku sengaja agar wajah Kiran yang sedih tak mengganggu proses belajarku.

♬♬♬
Dag-dig-dug. Kerja jantungku mulai melampaui batas. Keringat dingin ikut bercampur dalam tubuhku. Aku buka pelan-pelan amplom kelulusanku. Disampingku sudah ada Kiran yang duduk dengan ekspresi yang tak kalah tegangnya denganku. Ku buka pelan-pelan perekat amplop coklat yang berisi kertas pengumumanku. Dan, Nama : Karan Dimas, siswa dari SMAN 1 Jetis dinyatakan lulus UNAS pada tahun pelajaran 2009-2010 dengan nilai 58.96.
Aku dan Kiran sontak berdiri dan berjoget-joget seperti orang gila.
“Alhamdullilah, Mas. Nilaimu uapik tenan. Wah yang sudah lulus nih”. goda Kiran kepadaku mengingatkanku bahwa aku harus mengatakan niatku untuk pergi ke Jakarta.
“Hm… mas mau bilang sesuatu ke kamu”.
“Apa, Mas”.
“Mas mau kuliah di Jakarta, Ran. Tinggal disana sementara waktu sampai kuliah mas selesai. Sambil kerja sama saudaranya bapak. Lumayan uangnya nanti bisa ditabung buat beli pianomu. Lagi pulang mas gak tega kalau lihat bapak sama ibu kerja diladang. Mas mau jadi anak berbakti sama mereka, Ran. Mas minta doa restunya ya”.
Susah payah aku mengatakan semuanya tanpa ku biarkan Kiran memotong perkataanku. Aku takut saja kalau-kalau setelah ini aku tak sanggup lagi bicara padanya. Ku tatap dalam-dalam wajah. Ku telanjangi inchi demi inchi setiap lekuknya. Aku tau nanar wajahnya sedikit demi dekit redup. Tanpa perkataan yang panjang Kiran mengangguk. aku tak tau persis apa yang dirasakannya. Tapi aku tau butiran kristal mulai menggumpal disudut matanya.

♬♬♬
3 tahun semenjak kepindahku ke Jakarta, uang tabunganku semakin bertambah. Aku sudah mempunyai rekening sendiri, supaya lebih mudah untuk mengirimkan uang buat bapak sama ibu. Aku termasuk orang yang supel dan pintar, kata Pakdhe Sur. Aset penjualannya semakin meningkat semenjak aku join dengan usaha mebelnya. Syukurlah kalau begitu. Untuk Kiran…, aku dengar dia sudah menjadi guru bantu SD di desa kami. Tingkah lakunya semakin lama semakin kalem. 2 minggu yang lalu, Kiran mengirimiku surat. Isinya sudah pasti dia kangen dan memintaku segera pulang. Kalau tidak dia mengancamku akan menyusulku ke Jakarta sendirian. Kiran-Kiran, lucu sekalai dia. Dalam suratnya, Kiran juga melampirkan fotonya yang sedang mengajari muridnya perkalian. Lucu sekali. Wajah ayunya tak pernah pudar meskipun usinya sudah beranjak dewasa.
“Tin……….tin……..tin”. bunyi klakson membuyarkanku. Lampu hijau sudah menyala. Ku lajukan sepeda motorku pelang-pelan. Sekilas, kulihat ada kerumunan orang-orang dipinggir jalan dekat terminal. Tak lama kemudia 1 mobil polisi datang. Entah kenapa kejadian ini membuatku ingin berhenti. Ku hentikan laju motorku disebelah kerumunan. Banyak orang yang ingin ikut mengerubungi membuatku susah untuk mendekat.
Seperti tersengat seribu lebah. Aku terperanjat. Sekujur tubuhku bergetar hebat. Wajahku memucat. Butiran kristal berlomba untuk mebasahi pipiku.
“Enggak. Enggak mungkin. Kiran. Kiran bangun sayang. Ini mas”.
“Mas kenal dengan korban?”
“Kenal pak”. Jawabku sambal terisak.
“Maaf mas. Korban harus segera dibawa kerumah sakit terdekat. Seperti korban sudah banyak kehilangan banyak darah”.
“Silahkan pak polisi bawa Kiran saya ke rumah sakit. Saya akan mengikuti dari belakang”.

♬♬♬
“Ibu tolong kabari Maknya Kiran. Kiran tertabrak mobil di terminal? Karan sekarang ada di rumah sakit”.
“Iya, ibu sama bapak-sama orang tuanya Kiran langsung aja kesini. Ke RSIJ. Cempaka Putih. Dokter sedang menangani Kiran. Doakan yang terbaik aja bu. Assalamualaikum”.
Tutt...tutt...
“Bagaimana, dok, keadaan Kiran? Dia baik-baik saja kan?”
“Maaf. Kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi Allah berkenhendak lain. Saya turut berduka cita”.
Seketika kakiku lumpuh. Darahku berhenti mengalir. Jantungku sudah tidak berfungsi lagi. Separuh duiniaku sudah hilang. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak peduli siapapun yang memperhatikanku. Aku langsung masuk ke ruang tempat Kiran tertidur tanpa nyawa.
“Kiran, sayang ini mas. Kiran bangun ya. Sedikit lagi mas bakal belikan piano buat Kiran. Nanti Kiran main piano di depannya mas ya?. Kiran sudah sampai mana belajarnya? Kiraaan bangun”



♬♬♬
2 tahun kemudian
“Saya beli ini, Pak. Diantar ke Jalan Manggis No. 28 ya. Atas nama Bapak Karan”.
“Siap, Pak”
Kiran. Mas sudah membelikan piano buat kamu. Kamu suka gak? Nanti malam, mas mau mainin  lagu kaya waktu kita lihat TV bareng. Tapi, maaf ya kalau nanti permainan piano mas seperti anak TK dan sudah pasti ndak sebagus kamu. Yah, meskipun mas belum pernah tau sampai dimana permainan pianomu. Tapi mas yakin pasti tuts-tuts yang kamu pencet itu bakalan menghasilkan nada-nada yang indah. Bukan elegi.
Dekat, namun berbeda dimensi…
Ada sosok bayangan yang selalu dirindu Karan setengah mati.
Mas, terima kasih ya pianonya. Bagus banget. Mas jangan pernah sedih ya disini. Kiran bakal terus ada kok dihati mas. Kiran tau mas suka sedih. Tapi, Kiran gak peduli. Seberepa sedihnya mas, mas harus lawan itu. Manusia sudah memiliki takdir masih-masing. Hiduplah seolah-olah setiap hari adalah hari terakhir mas. Maka mas akan menghargai setiap waktu yang tersisa dalam hidup. Oiya, mas, ada satu hal yang selama ini Kiran selalu pendem. Hari ini Kiran boleh bilang, kan? Karna mungkin ini hari terakhir Kira. Mas, Kiran sayaaang banget sama Mas. I love you.
Semakin lama bayangan itu semakin pudar. Karan tersenyum. Meski masih ada elegi disetiap nada hidupnya. Tapi kini Karan mencoba mengerti. Takdir tidak akan pernah bisa dilawan.
“Mungkin, sudah waktunya….”
Sosok Kiran akhirnya lenyap digantikan realitas yang siap menunggu Karan dimasa selanjutnya. Dimasa kebangkitan jiwanya yang sempat mati suri.


TAMAT



Almadinda Violita Sarajivo
XI-IPA 3/03
SMA NEGERI 16 SURABAYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar