Elegi dalam Nada
Kiran dan Karan.
Seperti 2 hal yang tidak bisa dipisahkan. Kalau Karan adalah langit, Kiran
adalah laut. Laut akan terlihat indah jika dinaungi langit yang terang. Entah
itu karna sinar matahari atau karena sinar bulan. Tapi
kadang kala Kiran menjadi kucing dan Karan menjadi anjing. Selalu bertengkar!
Tidak ada yang mau mengalah. Dan ujung-ujungnya Kiranlah yang menangis untuk
mengakhiri pertunjukan gulat mereka. Karan dan Kiran juga bukan adik dan kakak.
Namun rasa sayang diantara mereka sudah seperti saudara kembar yang pernah
berbagi rahim seorang ibu dalam jangka waktu yang sama. Kedekatan mereka
dimulai ketika orang tua Kiran terpaksa pindah rumah ke desa kecil di pedalaman
Ponorogo. Entah kebetulan atau memang takdir, rumah keluarga Kiran dan Karan
bersebelahan. Sejak saat itu Karan selalu bermain dengan Kiran. Kemanapun Kiran
pergi Karan selalu mengikuti. Ke sungai-ke ladang-ke gunung-ke bukit.
Semakin lama, Karan semakin menunjukkan
sisi “langit”nya. Membuat sedikit demi sedikit sisi “laut” Kiran terlihat.
Karan dan Kiran. Ya!, mereka begitu polos hingga mereka tak menyadari tali
takdir mereka bertabrakan, kemudian berbelok-memutar-mundur hingga ruwet dan tidak bisa terurai satu-satu.
Memaksa mereka untuk selalu bersama. Selalu. Selamanya.
♬♬♬
“Mas, Bapakku beli TV baru lho. Bagus banget.
Lebih bagus dari punya Mas Karan yang setengah layarnya udah penuh semut
perang”.
“Ooo kurang ajar! Ngeledek kamu!
“Biarin! Aduuuuh awas sampek nyubit! Gak
tak bolehin liat lho”.
“Iya-iya nduk ayu. Jadi Mas ndak boleh lihat TV baru nih?”
“Hmm… gimana ya?”
Kiran langsung menyergap tangan Karan.
Dibawanya Kiran masuk kedalam ruang tamunya. Duduk bersamanya sambil menunggu
sang surya menuju tempat peraduannya.
Kiran sibuk memilah-milah chennel yang
apik ditonton. Memencet tombol channel up diremote, kemudian channel down, lalu
volume min, atau volume maks.
Sebuah channel stasiun milik swasta
tiba-tiba menyedot seluruh perhatian Kiran. Sedikitpun Kiran tidak ingin
membagi perhatiannya kepada siapapun dan apapun. Pandangan mata Kiran lurus
menatap layar TV. Mencoba menikmati nada yang asing baginya namun dapat
menentramkan siapapun yang mendengarnya. Kiran juga sibuk berfantasi.
Menganai-andai jika dirinyalah yang ada di dalam TV, memakai gaun putih dengan
rambut terurai. Memainkan tuts-tuts piano dengan anggun.
Gemuruh tepuk tangan penonton sontak
membuyarkan fantasinya. Menyuruhnya sadar dengan realita yang tak mungkin
menjadikannya wanita cantik di TV itu. Mengubah total raut muka Kiran dari
“kuning” menjadi “hitam” keruh lagi!
“Kenapa cemberut? Tadi acaranya mulai
serius banget lihatnya. Sekarang
kok sedih gini. Kenapa nduk cantik?”
Kiran tersenyum,
namun senyum lesu, Kiran menceritakan fantasinya kepada Karan. Tentang
keinginannya memainkan tuts-tuts di atas panggung megah. Tentang dirinya yang
ingin memakai gaun putih sambil tersenyum elegan kepada penonton. Namun semua
memang hanya keinginan-hanya perandai-andaian-saja!
Jangan sebut Karan
jika dia tidak bisa membangkitkan lagi senyum Kiran yang sempat mati suri beberapa
menit yang lalu. Karan menggenggam tangan Kiran kuat-kuat. Tersenyum begitu
manis. Karan berjanji akan mengabulkan keinginan Kiran.
“Tapi, Kiran kan
ndak punya piano kaya yang di TV tadi kak?”
“Hm.. iya ya. Kita beli pake uang kita berdua
aja. Kita sama-sama nabung. Kalau sudah banyak, nanti uang kita digabung. Terus
berangkat ke kota deh. Setuju? Sementara ini kamu belajar sama temen Mas aja
yang jago main piano. Nanti kalo sudah beli pianonya, kan, langsung bisa main?”
Raungan Kiran tidak
membuyarkan sedikitpun senyum di wajah Karan. Meskipun dia tak yakin akan mampu
mengabulkan keinginan Kiran. Berjanji berarti memberi harapan.
“Beneran, Mas?”
“Memang tampangnya
Mas ini kayak tampang pembohong?”
Seketika semburat
rona merah muncul bersamaan dengan tawa Kiran. Seperti magnet, Karan juga ikut
tersenyum. Begitu lepas. Tanpa memikirkan janjinya kepada Kiran akan menjadi
bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak.
♬♬♬
“Bagaimana ya
caranya beli piano buat Kiran? Piano kan harganya mahal. Panen gabah setahun
bapak aja ndak mungkin bisa nyukupin beli pianonya”.
“Ada apa toh, le? Kok wajahnya ditekuk. Mana
itu Kiran? Kok, tumben ndak main ke rumah?”
“Lagi belajar piano
sama Mirna. Buk’e, Karan boleh minta pendapat ndak?”
“Ono-ono
ae to Kiran iku. Wong ndeso kok
main piano barang. Adanya ya main
gamelan. Nanti bisa buat reog-kan kalo pas Agustus. Hahaha. Pendapat apa toh, le? Ya jelas boleh to sayang”.
Aku tak menghiraukan sama sekali candaan
ibu. Aku hanya ingin bercerita. Memuntahkan segalanya yang menyesakkanku. Ragu-ragu
aku menceritakan isi hatinku yang selama ini menyesatkan pikiranku. Ada rasa
takut, namun, janjiku kepada Kiran mengalahkan segalanya.
“Bu, kalo habis UNAS nanti Karan boleh
ndak kerja di Jakarta? Sekalian sama
kuliah disana”.
“Kamu mau tinggal
dimana? Di Jakarta itu keras. Banyak pencopet, pembunuhan. Para penjahat sampai
para koruptor sarangnya ada di Jakarta”.
Sontak aku kaget
dengan nada bicara ibu. Tak pernah-pernahnya ibu bicara sekeras itu. Biasanya kalau
ibu tidak suka, ibu hanya bilang jangan. Tapi, kepalang tanggung. Sudah
terlanjur basah. Ku teruskan saja niatku.
“Karan kan bias
tinggal di rumah Pakdhe Suryadi. Saudara bapak yang punya perusahaan mebel yang
cukup terkemuka di Jakarta. Nanti Karan bakal kerja paruh waktu di
perusahaannya Pakdhe Sur”
“Ibu takut, le. Kamu ini anak satu-satunya ibu sama
bapak. Kalau kamu kenapa-napa, sapa nanti yang nolong kamu. Pakdhe Sur kan
orangnya sibuk. Jarang ada dirumah. Budhe Sur mu itu,
hm… kamu tau kan? Beliau ndak
seberapa peduli sama anak-anak dari saudara Pakdhe mu? Maklumlah
kita ini orang ndak mampu. Ibu mohon jangan ya, tole”.
Sudah kehabisan akal aku memohon pada
ibuku. Tapi aku tetap harus memperjuangkannya. Tak tega memang aku melihat
ibuku yang sudah tua ini ku tinggal jauh. Tapi bagaimana lagi. Ini semua
salahku. Salahku karena aku tak mampu melihat Kiran sedih.
“Ibu Karan mohon? Karan janji akan
berkirim surat tiap 1 minggu sekali. Akan berkunjung tiap ada libur panjang.
Bagaimanapun kondisinya Karan janji akan pulang. Ini juga kan demi kebaikan
kita semua, bu. Karan juga ingin mengangkat derajat keluarga kita. Karan ingin
ibu sama bapak tidak bekerja keras lagi. Boleh ya, bu? Karan juga sudah pernah
berjanji untuk membelikan piano buat Kiran. Kalau Karan mengandalkan hasil
bekerja Karan diladang dan sawah milik pak kades, itu tidak akan mungkin bisa
membeli piano untuk Kiran”.
“Oh.. ini ada unsur
Kirannya toh? Kalau sudah menyangkut Kiran, kamu susah untuk dicegah, le. Meskipun ibu agak berat tapi ibu
akan pertimbangkan lagi. Ibu mau mandi terus sholat di sarau dulu. Kamu juga
mandi sana. Sholat. Minta doa sama Allah. Biar niatmu itu diluruskan. Nanti
malam ibu akan bicara pada bapakmu”.
Rasa lega yang
begitu besar menyiram dahaga pikiranku yang selama ini tak kunjung ada titik
temu.
♬♬♬
“Le, ibu sama bapak sudah bicara kemarin
malam. Kamu disana hati-hati. Kamu harus bener-bener nurut sama Pakdhe Sur.
Masalah budhemu, hm… kamu bisa kan mengatasinya? Yang penting
kamu jangan banyak tingkah disana. Opo
onok e wae. Seng peka karo budhe lan pakdhemu. Mangke bapak bakal ngirimi sampeyan
arto. Dicukup-cukupkan yo, le. Ojok lali. Iki seng paling penting! Ojok
lali karo gusti Allah. Solatnya jangan ada yang bolong. Paham kamu, le?”
“Bener buk’e? Bu’e merestui Karan?
Ibuku mengangguk pelan, disusul dengan
semyum beliau yang manis. Aku tahu sebenarnya ibu menyembunyikan rasa
khawatirnya dibalik senyumannya. Tapi
apa boleh buat, ini demi Kiran juga demi bapak dan ibu.
♬♬♬
Setelah
percakapanku dengan ibuku tempo hari yang lalu. Sudah ada
kelapangan dihatiku yang membuat semangat belajarku kembali.
3 bulan ku lewati
dengan lurus. Memang aku sedikit mengabaikan Kiranku.
Membiarkannya bermain sendiri demi mendapatkan bekal nilai yang cukup untuk
masuk universitas di Jakarta nanti. Sementara
ini, aku belum memberi tahukan niatku untuk pergi ke Jakarta. Aku
sengaja agar wajah Kiran yang sedih tak mengganggu proses belajarku.
♬♬♬
Dag-dig-dug. Kerja jantungku mulai
melampaui batas. Keringat dingin ikut bercampur dalam tubuhku. Aku buka
pelan-pelan amplom kelulusanku. Disampingku sudah ada Kiran yang duduk dengan
ekspresi yang tak kalah tegangnya denganku. Ku buka pelan-pelan perekat amplop
coklat yang berisi kertas pengumumanku. Dan, Nama : Karan Dimas, siswa dari SMAN 1 Jetis dinyatakan lulus UNAS pada
tahun pelajaran 2009-2010 dengan nilai 58.96.
Aku dan Kiran sontak berdiri dan
berjoget-joget seperti orang gila.
“Alhamdullilah, Mas. Nilaimu uapik tenan. Wah yang sudah lulus nih”.
goda Kiran kepadaku mengingatkanku bahwa aku harus mengatakan niatku untuk
pergi ke Jakarta.
“Hm… mas mau bilang sesuatu ke kamu”.
“Apa, Mas”.
“Mas mau kuliah di Jakarta, Ran. Tinggal
disana sementara waktu sampai kuliah mas selesai. Sambil kerja sama saudaranya
bapak. Lumayan uangnya nanti bisa ditabung buat beli pianomu. Lagi pulang mas
gak tega kalau lihat bapak sama ibu kerja diladang. Mas mau jadi anak berbakti
sama mereka, Ran. Mas minta doa restunya ya”.
Susah payah aku mengatakan semuanya tanpa
ku biarkan Kiran memotong perkataanku. Aku takut saja kalau-kalau setelah ini
aku tak sanggup lagi bicara padanya. Ku tatap dalam-dalam wajah. Ku telanjangi inchi demi inchi setiap lekuknya.
Aku tau nanar wajahnya sedikit demi dekit redup. Tanpa perkataan yang panjang
Kiran mengangguk. aku tak tau persis apa yang dirasakannya. Tapi aku tau
butiran kristal mulai menggumpal disudut matanya.
♬♬♬
3 tahun semenjak
kepindahku ke Jakarta, uang tabunganku semakin bertambah. Aku sudah mempunyai
rekening sendiri, supaya lebih mudah untuk mengirimkan uang buat bapak sama
ibu. Aku termasuk orang yang supel dan pintar, kata Pakdhe Sur. Aset
penjualannya semakin meningkat semenjak aku join
dengan usaha mebelnya. Syukurlah kalau begitu. Untuk Kiran…,
aku dengar dia sudah menjadi guru bantu SD di desa kami. Tingkah lakunya
semakin lama semakin kalem. 2 minggu yang lalu, Kiran mengirimiku surat. Isinya
sudah pasti dia kangen dan memintaku segera pulang. Kalau tidak dia mengancamku
akan menyusulku ke Jakarta sendirian. Kiran-Kiran, lucu sekalai dia. Dalam
suratnya, Kiran juga melampirkan fotonya yang sedang mengajari muridnya
perkalian. Lucu sekali. Wajah ayunya tak pernah pudar meskipun usinya sudah
beranjak dewasa.
“Tin……….tin……..tin”. bunyi klakson
membuyarkanku. Lampu hijau sudah menyala. Ku lajukan sepeda motorku
pelang-pelan. Sekilas, kulihat ada kerumunan orang-orang dipinggir jalan dekat
terminal. Tak lama kemudia 1 mobil polisi datang. Entah kenapa kejadian ini
membuatku ingin berhenti. Ku hentikan laju motorku disebelah kerumunan. Banyak
orang yang ingin ikut mengerubungi membuatku susah untuk mendekat.
Seperti tersengat seribu lebah. Aku
terperanjat. Sekujur tubuhku bergetar hebat. Wajahku memucat. Butiran kristal
berlomba untuk mebasahi pipiku.
“Enggak. Enggak mungkin. Kiran. Kiran
bangun sayang. Ini mas”.
“Mas kenal dengan korban?”
“Kenal pak”. Jawabku sambal terisak.
“Maaf mas. Korban harus segera dibawa
kerumah sakit terdekat. Seperti korban sudah banyak kehilangan banyak darah”.
“Silahkan pak polisi bawa Kiran saya ke
rumah sakit. Saya akan mengikuti
dari belakang”.
♬♬♬
“Ibu tolong kabari Maknya Kiran. Kiran tertabrak mobil di
terminal? Karan sekarang ada di rumah sakit”.
“Iya, ibu sama
bapak-sama orang tuanya Kiran langsung aja kesini. Ke RSIJ. Cempaka Putih.
Dokter sedang menangani Kiran. Doakan yang terbaik aja bu. Assalamualaikum”.
Tutt...tutt...
“Bagaimana, dok,
keadaan Kiran? Dia baik-baik saja kan?”
“Maaf. Kami sudah
melakukan yang terbaik. Tapi Allah berkenhendak lain. Saya turut
berduka cita”.
Seketika kakiku lumpuh. Darahku berhenti
mengalir. Jantungku sudah tidak berfungsi lagi. Separuh duiniaku sudah hilang.
Aku menangis sejadi-jadinya. Tak peduli siapapun yang memperhatikanku. Aku
langsung masuk ke ruang tempat Kiran tertidur tanpa nyawa.
“Kiran, sayang ini mas. Kiran bangun ya.
Sedikit lagi mas bakal belikan piano buat Kiran. Nanti Kiran main piano di
depannya mas ya?. Kiran sudah sampai mana belajarnya? Kiraaan bangun”
♬♬♬
2 tahun kemudian
“Saya beli ini, Pak. Diantar ke Jalan
Manggis No. 28 ya. Atas nama Bapak Karan”.
“Siap, Pak”
Kiran.
Mas sudah membelikan piano buat kamu. Kamu suka gak? Nanti malam, mas mau
mainin lagu kaya waktu kita lihat TV
bareng. Tapi, maaf ya kalau nanti permainan piano mas seperti
anak TK dan sudah pasti ndak sebagus kamu. Yah, meskipun mas belum pernah tau
sampai dimana permainan pianomu. Tapi mas yakin pasti tuts-tuts yang kamu
pencet itu bakalan menghasilkan nada-nada yang indah. Bukan elegi.
Dekat, namun
berbeda dimensi…
Ada sosok bayangan
yang selalu dirindu Karan setengah mati.
Mas,
terima kasih ya pianonya. Bagus banget. Mas jangan pernah sedih ya disini.
Kiran bakal terus ada kok dihati mas. Kiran tau mas suka sedih. Tapi, Kiran gak
peduli. Seberepa sedihnya mas, mas harus lawan itu. Manusia sudah memiliki
takdir masih-masing. Hiduplah
seolah-olah setiap hari adalah hari terakhir mas. Maka mas akan menghargai
setiap waktu yang tersisa dalam hidup. Oiya, mas, ada satu hal yang selama ini
Kiran selalu pendem. Hari ini Kiran boleh
bilang, kan? Karna mungkin ini hari terakhir Kira. Mas,
Kiran sayaaang banget sama Mas. I love you.
Semakin
lama bayangan itu semakin pudar. Karan tersenyum. Meski masih ada
elegi disetiap nada hidupnya. Tapi kini Karan mencoba mengerti. Takdir tidak
akan pernah bisa dilawan.
“Mungkin, sudah waktunya….”
Sosok Kiran akhirnya lenyap digantikan realitas yang siap
menunggu Karan dimasa selanjutnya. Dimasa kebangkitan jiwanya yang sempat mati suri.
TAMAT
Almadinda Violita Sarajivo
XI-IPA 3/03
SMA NEGERI 16 SURABAYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar