Arsip Blog

Senin, 11 Maret 2013

2nd KTI. Analisis Unsur Intrinsik Novel Ranah Tiga Warna Karya Ahmad Fuadi


BAB III
PEMBAHASAN UNSUR INTRINSIK
NOVEL RANAH 3 WARNA
KARYA AHMAD FUADI

Novel  Ranah 3 Warna dipilih dalam penelitian ini karena sangat menarik untuk dikaji. Kelebihan novel Ranah 3 Warna terletak pada ceritanya yakni tentang keteguhan prinsip yang dimiliki oleh Alif Flkri sebagai tokoh utama dalam novel ini. Alif Fikri adalah seorang santri yang bermimpi ingin berekolah di ITB seperti Habibie. Mimpi yang selalu dibelanya itu mendapat tanggapan negatif. Mulai dari Randai—sahabat Alif sejak kecil dan teman-temananya. “Wa’ang, Lif? Mau coba UMPTN? Emang sekolah kamu di SMA mana? Tanya Armen kawanku dengan tergelak keheranan (Fuadi, 2011:7). Armen tidak yakin dengan impian Alif. Armen merasa itu UMPTN adalah hal yang mustahil bagi seorang lulusan pesantren seperti Alif.
Banyak yang meremehkan impian Alif, namun ada juga yang prihatin dengan Alif. “...Aden saja yang lulusan SMA favorit tidak tembus UMPTN. Berat benar. Coba D3 yang lebih ringan persaingannya dan bisa cepat kerja,” kata Zulman meyakinkan bahwa aku akan senasib dengannya (Fuadi, 2011:6).  Selain meremehkan, ada juga yang simpati kepada Alif. Seperti Zulman, Zulman menyarankan agar Alif mencoba D3 saja agar tidak terlalu banyak sainagn dan bisa langsung bekerja. Namun pendap teman-teman Alif tidak ada yang dia hiraukan. Alif tetap yakin pada impiannya. Pada ITB, dan pada Amerika.
Alif Fikri sebagai tokoh utama dalam novel ini juga memiliki kelebihan, meskipun diremehkan Alif tidak pernah sedikitpun menyerah sekalipun itu hanya dalam hati. Berbekal mantra man jadda wajada dan man shabara zhafira, Alif mampu melewati semua rintangan.
Kelebihan yang dimiliki Anwar Fuadi sebagai penulis novel ini, yaitu penulis dapat menceritakan secara gamblang tentang Maninjau. Kisah Alif diwarnai dengan budaya sosial yang ada di Maninjau. Bahasa dalam novel ini pun memakai bahasa Maninjau. Daerah asal penulis sangat berpengaruh terhadap isi novel Ranah 3 Warna ini.
Selain itu, penulis dapat menceritakan kisah Alif dengan latar di luar Indonesia yaitu, Amman-Yordania, Kanada-Quebec. Penulis juga menguasai bahasa asing, dan mampu menyuguhkan pepatah arab sehingga penulis bisa benar-benar mengindikasikan bahwa tokoh Alif adalah lulusan pesantren.
Masalah lain yang menarik untuk dikaji dalam novel Ranah 3 Warna antara lain, yaitu: konflik Alif Fikri dan Randai. Meraka adalah sahabat yang sama-sama berlomba meraih impian. Sudah setengah jalan Alif mampu meraih impiannya. Meskipun bukan di ITB, Alif sudah cukup bersyukur karena dia masuk HI di universitas UNPAD Bandung. Kerena kondisi ekonomi keluarga Randai lebih mampu, maka selama di Bandung, Alif tinggal di rumah kos Randai.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan menganalisis unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna.
3.1. Sinopsis Novel Ranah 3 Warna
Alif dan Randai adalah kawan semasa kecil. Mereka sangat dekat satu sama lain. Namun, di lain sisi mereka juga saling bersaing. Menjadi mahasiswa ITB adalah impian Alif sejak dulu. Kini ia telah menyelesaikan pendidikan agamanya di Pondok Madani. Namun, ia tidak memiliki ijazah SMA. Banyak teman di kampungnya yang meragukan  kemampuannya untuk bisa tembus UMPTN, termasuk Randai. Akan tetapi Alif tidak berkecil hati, dia tetap yakin pada mimpinya.
Akhirnya, Alif berhasil lulus ujian persamaan SMA meskipun dengan nilai yang pas-pasan, tetapi dia percaya pada mantra sakti yang ia peroleh selama belajar di Pondok Madani; man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Selama persiapan menuju UMPTN, dia belajar segenap daya dan  upaya. Namun, saat itu hanya sedikit waktu yang dimiliki Alif untuk bisa menuntaskan semua pelajaran IPA. Alif merasa harus memilih pilihan lain. Sejak saat itu, Alif mengubah pilihan menjadi IPS. Melihat daftar universitas dan program studinya saat itu, hati Alif tertarik dengan Hubungan Internasional UNPAD.
Bersamaan dengan detik-detik menjelang UMPTN, sedang berlangsung pertandingan kesebelasan di daerah Eropa. Selain belajar untuk persiapan UMPTN, Alif juga menyempatkan dirinya untuk menonton bola bersama ayahnya. Saat itu, ia bertaruh dengan ayahnya melihat tim yang akan memenangkan pertandingan. Alif sengaja memilih tim yang banyak diremehkan orang. Ia memilih tim kesebelasan Denmark. Ayahnya memegang Jerman. Ternyata, saat  itu tim Denmark yang tidak disangka-sangka sebelumnya, berhasil menaklukkan Jerman pada babak final melalui tendangan pinalti. Berkaca dari hal ini  Alif yang merasa dirinya senasib dengan tim Denmark yang dianggap sebelah mata, timbul semangatnya untuk bekerja lebih keras lagi. Dengan kesungguhan tekad ia berjanji dalam hati untuk membuktikan bahwa ia bisa tembus UMPTN. Hal itu terwujud, akhirnya ia lulus UMPTN dan berhasil masuk menjadi mahasiswa HI UNPAD.
Bermodalkan beberapa lembar rupiah dan sepatu hitam dari ayahnya serta doa orangtua, Alif berangkat ke Bandung. Berbagai tantangan dia hadapi selama kuliah di UNPAD, mulai dari keinginan menjadi seorang penulis dengan berguru ke seorang senior bernama Bang Togar, meskipun sebenarnya Alif tau Bang Togar adalah orang yang keras, namun  ia bertahan. Ia juga bertemu dengan Raisa, wanita mempesona yang berhasil mengambil hati Alif. Raisa juga yang membantu Alif hingga akhirnya artikel Alif berhasil dimuat di media lokal Bandung.
Akan tetapi nasib malang tak dapat dihindari, baru beberapa bulan Alif kuliah, ayahnya meninggal. Kehilangan sosok ayah yang menjadi tulang punggung keluarga membuat Alif goyah. Siapa nantinya yang akan membiayayi sekolah adik-adiknya di kampung. Alif hampir putus asa, tapi sosok seorang Ibu menyemangatinya sehingga dia mau melanjutkan kembali kuliahnya.             
Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba mengikuti tes pertukaran pelajar ke Amerika, bermodalkan niat dan tekad, Alif pun berhasil lolos dengan berbagai pertimbangan yang diberikan oleh panitia. Kanada adalah tempat yang ditiju Alif selama pertukaran pelajar di Amerika. Raisa yang merupakan wanita yang Alif sukai juga lolos seleksi pertukaran pelajar tersebut. Alif pun menambah banyak teman dari rombongan pertukaran pelajar tersebut.
            Alif tinggal di sebuah kota kecil di Kanada, Quebec, dia tinggal dengan homestay parent bernama Franco Pepin. Banyak pengalaman yang Alif dapatkan saat di Kanada, mulai canda, tawa, cinta, sedih campur menjadi satu, hingga Alif mendengarkan pernyataan dari Raisa secara tidak sengaja yang menyatakan bahwa dia tidak ingin pacaran, tapi dia ingin langsung ke jenjang pernikahan. Hal ini menyebabkan Alif mengurungkan niatnya untuk menyatakan perasaannya yang ingin dia ungkapkan melalui surat dan menyimpan surat itu hingga suatu hari.
             Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke Indonesia. Beberapa tahun kemudian, Alif lulus. Namun di hari kelulusan itu, saat Alif ingin menyerahkan surat tersebut ke Raisa, hal yang tidak disangka terjadi. Raisa telah bertunangan dengan Randai, Dengan perasaan yang campur aduk dia berusaha mencoba untuk menerimanya.
3.2. Tema Novel Ranah 3 Warna
Tema Ranah 3 Warna adalah tentang perjuangan seorang lulusan pesantren untuk menggapai mimpinya. Hal tersebut banyak terlihat dari bagaimana penulis menceritakan sosok Alif yang gigih berjuang untuk mencapai mimpi-mimpinya. Mulai dari perjuangannya untuk bisa lulus ujian persamaan SMA, lulus UMPTN dan masuk HI UNPAD sesuai yang diinginnya, hingga keinginannya untuk bisa mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika. Alif yang hanya seorang lulusan pesantren telah berhasil berjuang gigih melawan rasa pesimis yang banyak diberikan oleh rekan-rekan sekitarnya. Demi memperjuangkan mimpinya, Alif mampu melewati berbagai rintangan di tiga ranah yang berbeda, di tempat, yaitu Bandung, Amman, dan Saint Raymond. Hal ini sesuai dengan judul novel ini Ranah 3 Warna.
3.3. Penokohan dan Perwatakan Novel Ranah 3 Warna
            Tokoh dibagi menjadi tiga, yaitu 1.) Protagonis, 2.) Antagonis, dan 3.) Tritagonis. Namun dalam kisah Alif Fikri, penulis tidak mengikutsertakan tokoh antagonis di dalamnya. Sebegai penggantinya, penulis menyuguhkan konflik yang berkembang untuk menguji keyakinan Alif Fikri dalam membela mimpinya.
3.3.1. Tokoh Protagonis dalam Novel Ranah 3 Warna
Dalam novel Ranah 3 Warna tokoh yang berperan sebagai tokoh protagonis adalah Alif Fikri. Novel ini menceritakan bagaimana tokoh Alif membela mimpinya dengan segenap usaha dan keyakinan. Alif Fikri adalah pemeran utama dalam Ranah 3 Warna. Alif Fikri adalah seorang lulusan pesantren Pondok Madani di Ponorogo. Alif bercita-cita ingin masuk universitas Teknologi Bandung layaknya Habibie. Namun, mimpinya ini mendapat tanggapan kurang baik dari Randai dan teman-temanya. Bahkan amak dan ayahnya tidak sepenuh hati dengan impian Alif. Alif tidak menyerah dengan semuai ini. Berbekal tekad yang bulat dan mantra man jadda wajada juga man shabara zhafira, Alif berhasil meraih mimpinya dan menginjakkan kakinya di Kanada.
Penulis juga selalu menceritakan tokoh Alif Fikri yang mengindikasikan adanya keberadaan tokoh Alif selain sebagai tokoh protagonis, juga sebagai tokoh utama. Beberapa contoh yang menjelaskannya, yaitu “Eh, Alif, jadi setelah tamat pesantren ini, wa’ang masih tertarik jadi seperti Habibie?” tanya Randai sambil menepuk-nepuk betisnya yang dirubung agas (Fuadi, 2011). Alif dan Randai sedang memancing bersama di danau Maninjau. Randai sedang libur pajang di ITB, sedangkan Alif baru lulus dari Pondok Pesantren Madani di Ponorogo. Mereka bertaruh siapa yang mendapatkan ikan paling banyak, dialah yang nantinya akan menraktir makan pensi rebus khas Danau Maninjau.
“Jangan banyak tanya!” teriakku. Lihat saja nanti. Kita sama-sama buktikan!” kataku dengan nada tinggi. Alif tersinggung dengan lontaran pertanyaan Randai yang terkesan menjatuhkan Alif. Lalu, Alif memutuskan untuk pergi meninggalkan Randai sambil bergumam dalam hati.
“Tapi Yah, hanya 2 bulan? Untuk belajar pelajaran 3 tahun?” Aku menghela napas panjang, antara bingung dan gentar. Bisakah aku? (Fuadi. 2011). Setelah Ayah Alif memberikan dokumen kelengkapan ujian persamaan SMA. Alif merasa gentar dan tidak yakin. Apakah dia bisa mempelajari pelajaran SMA selama tiga tahun dalam waktu seminggu.
Kutipan pertama mengindikasikan adanya tokoh Alif dalam novel Ranah 3 Warna. Sedangkan kutipan kedua dan ketiga menjadi pengantar penulis untuk menceritakan tokoh Alif lebih lanjut.
3.3.1.1. Watak Alif Fikri dalam Novel Ranah 3 Warna
            Alif Fikri bertindak sebagai tokoh utama dalam novel ini. Alif diposisikan sebagai tokoh utama karena Alif lah yang selalu diceritakan dalam novel ini. Alif digambarkan memiliki banyak karakter oleh penulis karena posisinya sebagai tokoh sentral.
Dalam novel ini, tokoh Alif digambarkan mempunyai watak berkembang. Di tahap penyituasian watak Alif mudah putus asa hanya dengan hal-hal sepele. Sedangkan di tahap permunculan masalah, peningkatan konflik, tahap klimaks, dan anti klimaks watak Alif tidak mudah putus asa. Alif tidak menyerah membela mimpinya yang tinggi, meskipun banyak rintangan menghadangnya.
3.3.1.1.1. Mudah Putus Asa
“Waktu itu impianku adalah menjadi seperti Habibie dan belajar sampai Amerika. Tapi lihatlah aku hari ini. Memancing seekor ikan danau pun tidak bisa. Apalagi menggapai cita-citaku” (Fuadi, 2011). Ketika Alif dan Randai memancing di pinggiran Danau Maninjau, Randai melontarkan pertanyaan yang menggoyahkan keyakinan Alif atas mimpinya menjadi seperti Habibie dan belajar samapi Amerika.
“Tapi Yah, hanya 2 bulan? Untuk belajar pelajaran 3 tahun?” Aku menghela napas panjang, antara bingung dan gentar. Bisakah aku? (Fuadi. 2011). Setelah Ayah Alif memberikan dokumen kelengkapan ujian persamaan SMA. Alif merasa gentar dan tidak yakin. Apakah dia bisa mempelajari pelajaran SMA selama tiga tahun dalam waktu seminggu.
3.3.1.1.2. Pantang Menyerah
“Jangan banyak tanya!” teriakku. Lihat saja nanti. Kita sama-sama buktikan!” kataku dengan nada tinggi. Alif tersinggung dengan lontaran pertanyaan Randai yang terkesan menjatuhkan Alif. Lalu, Alif memutuskan untuk pergi meninggalkan Randai sambil bergumam dalam hati.
“Insya Allah Yah, ambo akan berjuang habis-habisan untuk persamaan ini dan untuk UMPTN” (Fuadi, 2011). Setelah mendengarkan nasihat dari Ayahnya, Alif bertekad untuk belajar dengan giat lagi untuk ujian persamaan dan UMPTNnya.
“Aku ingin membuktikan kepada mereka semua, bukan mereka yang menentukan nasibku, tapi diriku dan Tuhan. Aku punya impianku sendiri. Aku ingin lulus UMPTN, kuliah di jalur umum untuk bisa mewujudkan impianku ke Amerika (Fuadi, 2011). Alif tidak memperdulikan omongan teman-temannya dan Randai. Alif percaya jika dia berusaha dan berdoa, Tuhan pasti akan menolongnya.
“Janganlah setahun, tiga tahun pun akan aden lakukan demi mencapai cita-cita...” (Fuadi, 2011). Alif sedang belajar pelajaran SMA dan Randai menjadi tutor Alif. Namun, sudah berulang kali Alif diajari rumus kimia, matematika, dan fisika. Tetap saja Alif tidak mengerti. Randai akhirnya menyerah mengajari Alif. Karena merasa diremehkan, Alif dengan lantang mengatakan bahwa dia bisa sendiri tanpa bantuan Randai.
“Bismillah. Ayo, kawan hitamku, kita taklukkan dunia” (Fuadi, 2011). Alif menunduk melihat ujung sepatu hitam pemberian dari Ayahnya. Dengan penuh semangat, Alif mengayunkan sepatu hitam melangkah untuk merantau di tanah Jawa.
“Hari ini aku memutuskan bangkit dari sakitku” (Fuadi, 2011). Alif menemukan kertas yang sudah menguning di dompetnya. Dia buka pelan-pelan. Ternyata isinya tentang tiga petatah yang akhirnya kembali menyemangati Alif. Alif kembali berjuang untuk hidupnya. Dia lawan sakitnya. Alif membuka buku diarynya yang sudah berdebu karena lama tidak pernah dibuka.
3.3.1.1.3. Jujur
“Joki? Aku menggeleng keras untuk perjokian. Apa gunannya ajaran Amak dan Pondok Madani  tentang kejujuran dan keikhlasan (Fuadi, 2011). Armen—teman Alif, belum juga puas. Tiba-tiba Armen bertanyaan, namun lebih terdengar meremahkan. Jika Alif lulus UMPTN tentu saja Alif menggunakan joki. Pertanyaan itu pasti dibaantah keras oleh Alif.
3.3.1.1.4. Bijaksana
“Ambo sudah bisa merantau ke Jawa, jadi janganlah Ayah khawatir. Tapi melihat kondisi Ayah, malah Ambo yang cemas. Ambo akan tunggu Ayah sehat dulu” (Fuadi, 2011). Melihat kondisi kesehatan Ayahnya semakin turun. Alif merasa tidak tega meninggalkan Ayahnya sendirian.  Alif bemaksud ingin menunda keberangkatannya ke Bandung.
3.3.1.1.5. Mudah Bimbang
Semenjak Ayah Alif meninggal, Alif menjadi seorang yang mudah bimbang. Bimbang untuk memikirkan bagaimana Amaknya akan menghidupi adik-adiknya dan dirinya. Alif ingin berhenti kuliah dan membantu Amaknya, namun Amaknya terang-terangan menentang hal itu. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan “Mana yang harus aku patuhi? Wasiat Ayah untuk membela Amak dan adik-adikku, dengan mengorbankan kuliah? Atau tunduk pada “ancaman” Amak untuk terus kuliah. Tapi merasa bersalah karena membebani beliau?” (Fuadi, 2011). Alif menjadi bimbang dengan semua ini. Alif ingin berhenti kuliah dan membantu Amaknya. Namun mengingat perjuangannya untuk lolos UMPTN, Alif menjadi bimbang lagi. Alif masih ingin kuliah tapi dia tidak punya uang untuk membayar SPP, uang saku, uang kos, dan uang makan.
3.3.1. Tokoh Protagonis dalam Novel Ranah 3 Warna
Randai adalah kawan akrab Randai. Sejak kecil mereka selalu berlomba masalah remeh-temeh. Ketika dewasa mereka berlomba-lomba untuk masa depan. Entah mengapa Randai selalu meremehkan Alif yang berstatus lulusan pesantren. Randai selalu melontarkan pertanyaan yang membuat Alif tersinggung. Semasa Alif di Pondok Madani, Randai selalu menyombongkan diri melalui surat yang berisi pengalaman SMAnya lengkap dengan foto Randai berseragam putih abu-abu, yang dikirimkan kepada Alif. Meskipun Randai dan Alif selalu bersain, mereka tetap merupakan kawan sejak kecil yang saling menyayangi satu sama lain.
Pada tahap peningkatan konflik, Randai ikut prihatin atas nasib teman karibnya, Alif. Randai bahkan rela berbagi rumah kos dengan Alif. Randai juga sering meminjami alif uang. Randai jugalah yang merawat Alif ketika Alif sedang sakit tipus.
Randai digambarkan memiliki watak berkembang dalam novel ini. Hal ini yang menjadi salah satu daya tarik bagi novel karya Ahmad Fuadi ini.
3.3.1.2. Watak Randai dalam Novel Ranah 3 Warna
3.3.1.2.1. Sombong 
“Randai hanya melirikku sambil tersenyum timpang seperti tidak yakin. Bola matanya berputar malas. Lagaknya selalu kurang ajar” (Fuadi, 2011:3). Randai dan Alif sedang memancing ikan di pinggir Danau Maninjau. Randai bertanya kepada Alif tapi terdengar sedikit meremehkan. Pertanyaan itu dijawab Alif dengan nada yang naik beberapa oktaf.
“Hmm. Kuliah di mana setelah di pesantren? Emangnya wa’ang bisa kuliah ilmu umum? Kan tidak ada ijazah SMA? Bagaimana akan bisa ikut UMPTN?” Pertanyaan Randai berentetan dan berbunyi sengau (Faudi, 2011). Ketika Randai dan Alif sedang memancing ikan di pinggiran Danau Maninjau, Randai terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Alif patah semangat.
3.3.1.2.1. Baik Hati
“Randai tampaknya kasihan padaku” (Fuadi, 2011). Sudah sebulan Alif tidak kunjung menemukan tempat kos yang cocok untuknya. Susah mencari tempat kos yang murah di Bandung. Randai memberi usulan agar Alir tinggal bersamanya. Alif dan Randai bisa membayar uang sewa dengan patungan. Hal itu sudah pasti akan meringankan beban Alif.
“Randai serius membantuku untuk berjualan pakaian” (Fuadi, 2011). Randai memesankan 30 potong pakaian dari Minangkabau. Alif hanya membeli ini dengan harga pokok saja. Setelah itu, Alif terserah mau menjual dengan harga berapa pun. Alif bahkan boleh membayar pakaian ini setelah laku. Tentu aturan ini mempermudah Alif.
3.3.1.2.1. Pantang Menyerah
“Tapi aku tahu dia sedang mengejar tenggat tugasnya besok pagi” (Fuadi, 2011). Alif telah menyelesaikan tulisan mentah untuk diserahkan kepada Bang Togar. Uang saku Alif tidak cukup untuk menyewa komputer di warnet. Dia putuskan saja untuk meminjam komputer milik Randai. Tapi dari tadi Randai sibuk dengan tugasnya. Alif mencoba merayu Randai agar Randai beristirahat. Namun Randai tidak kunjung menyerah. Randai melanjutkan tugasnya tanpa menghiraukan Alif.
3.3.1.3. Watak Ayah Alif Fikri dalam Novel Ranah 3 Warna
            Ayah Alif fikri termasuk tokoh tritagonis dalam novel ini. Beliau selalu mendukung Alif dan mengarahkan Alif dalam menentukan arah. Ayah Alif seorang yang bijaksana. Sebagai bekal untuk Alif di Bandung kelak, Ayahnya memberikan beberapa lembar rupiah dan sepatu hitam yang dipesan khusus dari pasar. Sebelum meninggal dunia, Ayah Alif berpesan agar Alif selalu melindungi Amak dan adik-adiknya.
3.3.1.3.1. Bijaksana
“Ayah mungkin yang paling tahu perasaan yang aku simpan. Setahun lalu, beliaulah yang datang jauh-jauh dari Maninjau menemuiku di Ponorogo, hanya untuk menjinakkan hatiku ketika aku ingin sekali keluar dari Pondok Madani auat PM” (Fuadi, 2011:5). Ayah Alif lah yang paling mengerti perasaan Alif ketika Alif ingin sekali keluar dari PM untuk melanjutkan sekolah di sekolah umum agar Alif mendapatkan ijazah.
“... Waktu ujian persamaan SMA tinggal 2 bulan lagi. Sekarang tugas wa’ang untuk belajar keras,” kata Ayah sambil menyerahkan setumpuk kertas (Fuadi, 2011). Ayah Alif menempati janjinya kepada Alif untuk menguruskan segala keperluan agar Alif bisa mengikuti ujian persamaan SMA. Ayah Alif menyerahkan dokumen yang harus diisi oleh Alif.
“Nasihat singkat itu ditutup Ayah dengan doa bersama untuk perantauanku” (Fuadi, 2011). Sebelum berangkat ke Bandung, Ayah Alif menasehatinya agar selalu menjaga nama baik dan menghargai adat istiadat di Bandung. Setelah itu, Ayah Alif melanjutkan dengan doa bersama.
“Semoga bisa lulus UMPTN ya, Nak. Hanya biaya kuliah di universitas negeri yang mungkin bisa kita bayar,” kata Ayah lirih (Fuadi, 2011). Ayah Alif memberikan nasihat sekaligus penyemangat untuk Alif. Alif harus berjuang sungguh-sungguh untuk kedua ujian ini karena keadaan ekonomi keluarga Alif hanya mampu membiayayai dirinya di universitas negeri.
3.3.1.3. Watak Bang Togar dalam Novel Ranah 3 Warna
3.3.1.3.1. Tegas
“Yakin tahan? Aku akan didik kau keras seperti dulu, bahkan akan lebih keras. Siap kau?” (Fuadi, 2011). Alif kembali berguru kepada Bang Togar. Alif berharap dengan menulis dia bisa menghidupi dirinya dan mengirimi Amaknya di kampung. Meskipun cara mengajar Bang Togar sanagt keras dan kasar. Tapi Alif tidak akan mundur lagi.
“Enak saja 1 bulan. Kau hilang hampir setengah tahun, tau!” (Fuadi, 2011:138). Bang Togar menghardik Alif setelah hampir setengah tahun Alif tidak pernah menemuinya. Alif menjelaskan bahwa dia ingin berguru lagi pada Bang Togar.
“Mau pintar kok pakai tawar-tawar. Tulisan urusan kau. Kalau serius, datang bawa satu tulisan besok. Kalau tidak bisa, tidak usah sekalian. Titik” (Fuadi, 2011:68). Ketika Alif datang ke Bang Togar dan menyampaikan niatnya untuk berguru kepada Bang Togar. Bukan sambutan ramah yang diterima Alif, namun tugas yang harus dikumpulkan jam 8 pagi jika Alif benar-benat berniat berguru pada Bang Togar.
3.3.1.3.2. Baik hati
“Sabar ya, Lif. Doakan bapak kau sering-sering” (Fuadi, 2011). Mendengar bahwa Ayah Alif telah meninggal, raut Bang Togar berubah menjadi lebih kalem. Bang Togar berkomat-kamit sendiri mendoakan Ayah Alif.
“Sabar-sabar saja kau, ambil hikmahnya. Masih tahan,kan?” (Fuadi, 2011). Setelah seharian menggojloki Alif, Bang Togar memberinya semangat untuk terus belajar menulis.
“Dia memang orang Batak yang tanpa basa-basi. Keras, tapi aku tahu hatinya baik” (Fuadi, 2011). Setelah membaca surat yang dikirimkan Ayahnya kepada Bang Togar, Alif menjadi tahu mengapa Bang Togar selama ini mendidiknya dengan keras. Mengetahui semua ini, Alif semakin yakin bahwa sebenarnya Bang Togar berhati baik.
“Yang penting kasih orang yang nggak mampu, anak yatim piatu” (Fuadi, 2011). Alif menceritakan rasa kecewanya kepada Bang Togar kerana upayanya menulis dihargai Cuma Rp15.000,00 saja. Bang Togar menasehati Alif agar Alif menyisihkan sedikit rezekinya untuk anak yatim.
3.4. Alur Novel Ranah 3 Warna
Didalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, terdapat alur maju. Alur maju yang menceritakan perjuangan tokoh Alif dalam mendapat ijazah untuk pendidikan yang alebih tinggi, dikarenakan Alif yang hanya seorang lulusan pesantren. Penulis menggunakan alur maju mundur agar memudahkan pembaca mengetahui awal penyebab konflik terjadi. Sedangkan untuk klimaks, penulis menyuguhkan saat Alif berhasil lolos pertukaran pelajar ke Amerika dengan sedikit dibubuhi kisah percintaan Alif.
Menggunakan alur maju dapat dibuktikan dengan uraian sebagai berikut:
3.4.1. Tahap Penyituasian
Pada tahan ini penulis memperkenalkan situasi latar dan tokoh cerita. Berikut ini adalah tahap penyesuaian dalam novel Ranah 3 Warna: Alif adalah seorang lulusan dari Pesantren Pondok Madani. Alif berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan di jalur umum dan belajar di Amerika. Tujuan utamanaya adalah ITB, dia ingin menjadi seorang layaknya Habibie.
Untuk melanjutkan pendidikan di jalur umum, tentunya Alif membutuhkan ijazah. Untuk mendapatkan ijazah Alif harus mengikuti ujian persamaan SMA. Meskipun semua meremehkan Alif, namun dia tidak pantang menyerah. Segala upaya dilakukannya. Mulai dari meminjam  buku pelajaran SMA, catatan pelajaran, serta doa yang tidak pernah putus.
Alif mecoba untuk realitas. Ujian persamaan tinggal dua bulan, namun tidak satu pun rumus kimia, fisika, dan matematika yang dia pahami. Alif tidak mungkin menguasai pelajaran IPA dalam waktu dua bulan. Akhirnya Alif memutuskan untuk berubah “arah”. Alif memutuskan untuk mengambil jurusan IPS. Tidak ada bidang studi yang dimanati Alif di jurusan IPS. Tiba-tiba Hubungan Internasional UNPAD menarik perhatiannya, mungkin dengan ini Alif bisa belajar di Amerika.
Keinginan Alif untuk belajar di jalur umum dan di Amerika dibuktikan dengan kutipan berikut, “Aku ingin lulus UMPTN, kuliah di jalur umum untuk bisa mewujudkan impianku ke Amerika” (Fuadi, 2011). Semua orang meremehkan impian Alif. Namun Alif tidak menyerah begitu saja. Dia tetap berusaha sekuat tenaga. Alif meyakini bahwa hanya dia dan Tuhan yang bisa mengubah nasibnya.
Banyak yang meremehkan impian Alif, namun ada juga yang prihatin dengan Alif. “...Aden saja yang lulusan SMA favorit tidak tembus UMPTN. Berat benar. Coba D3 yang lebih ringan persaingannya dan bisa cepat kerja,” kata Zulman meyakinkan bahwa aku akan senasib dengannya (Fuadi, 2011).  Selain meremehkan, ada juga yang simpati kepada Alif. Seperti Zulman, Zulman menyarankan agar Alif mencoba D3 saja agar tidak terlalu banyak sainagn dan bisa langsung bekerja. Namun pendap teman-teman Alif tidak ada yang dia hiraukan. Alif tetap yakin pada impiannya. Pada ITB, dan pada Amerika.
Keputusan Alif untuk masuk Hubungan Internasional UNPAD dapat dibuktikan dengan kutipan “Tiba-tiba jariku berhenti. Hubungan Internasional” (Fuadi, 2011:14). Alif membolak-balik panduan UMPTN dan formulir yang baru dia beli. Tidak ada bidang studi yang menarik minatnya. Tiba-tiba jarinya berhentin di HI UNPAD. Alif tertarik dengan Hubungan Internasional. Mungkin saja jika Alif masuk di jurusan ini dia bisa belajar sampai Amerika.
3.4.2. Tahap permunculan masalah
Pada tahap ini tokoh Alif sedang mengincar kursi di Jurusan Hubungan Internasional UNPAD. Setelah berhasil diterima di UNPAD, Alif harus bersiap-siap untuk merantau ke Bandung. Berbekal beberapa lembar rupaih dan sepatu hitam yang dipesan khusus di pasar oleh Ayahnya juga doa yang tidak pernah putus, Alif berangkat ke Bandung. Di Bandung, Alif tinggal di kos Randai. Karena biaya kos di Bandung mahal, Alif memutuskan untuk tinggal di kos Randai. Untuk pembayarannya, Alif dan Randai patungan. Hal itu memang sangat meringankan beban Alif.
Alif mulai belajar menulis. Dia berguru oleh mahasiswa di UNPAD. Keberanian Alif menghadapi kekerasan watak dan kesombongan Bang Togar, akhirnya berbuah manis. Tulisan Alif bisa dimuat di majalah kampus.
3.4.3. Peningkatan konflik
            Pada tahap ini beban hidup Alif semakin bertambah.  Ketika Ayahnya meninggal, Alif semakin bimbang. Apakah dia akan melanjutkan kuliahnya atau berhenti dan membantu Amak mencari nafkah di kampung. Alif menyampaikan niatnya untuk berhenti kuliah kepada Amaknya. Namun, Amak Alif sangat tidak menyetujui niatan Alif. Amaknya berkata kepada Alif bahwa beliau masih sanggup membiayai Alif dan adik-adiknya.
            Karena tidak tega harus meminta uang kepada Amaknya, Alif bekerja menjadi guru les privat, pedagang kain dari Minangkabau, bahkan seles perabotan rumah tangga dan alat kosmetik.
            Kehidupan yang dialami Alif semakin berat hingga ketika dia dirampok orang yang tidak dikenal dan dia divonis dokter terkena penyakit typus. Disitulah masa dimana Alif benar-benar putus asa.
            Kutipan ini menjelaskan keadaan Alif setelah kematian Ayahnya, “         Selama perjalananku dari Maninjau ke Bandung hatiku buncak tidak tertentu” (Fuadi, 2011). Ketika Ayahnya meninggal, Amaknya harus bekerja keras demi membiayayai dirinya dan kedua adiknya. Alif merasa tidak tega melihat keadaan ibunya. Alif bimbang, apakah Alif harus berhenti kuliah dan membantu Amaknya di kampung atau tetap kuliah sesuah pesan Amaknya.
            Kutipan ini menjelaskan ketika Alif dirampok oleh dua orang laki-laki yang tidak dia kenal, “Mau leher maneh ditebas celurit atau....?” (Fuadi, 2011). Ketika hujan deras, Alif berteduh. Ketika itu ada dua orang laki-laki yang merampok Alif. Alif sudah mencoba untuk melawan walau hanya dengan kata-kata yang lirih. Namun kedua perampok itu tidak kunjung berbelas kasih kepada Alif sampai akhirnya semua barang dagangan Alif diambil paksa oleh kedua perampok itu.

3.4.4. Tahap klimaks
Alif mencoba mengikuti tes seleksi pertukaran pelajar ke Amerika. Ketika sedang tes, Alif melihat Raisa dan Randai di sana. Raisa dan Randai juga mengikuti seleksi pertukaran pelajar ke Amerika. Namun hanya Alif dan Raisa yang berhasil lulus dalam seleksi pertukaran pelajar ke Amerika tersebut. Alif, Raisa beserta yang lulus lainnya berangkat ke Quebec, Kanada. Disana mereka berkompetisi untuk memperebutkan medali dengan berprestasi dan diakui oleh komunitas masyarakat tempat dimana mereka tinggal. Selama di Kanada, Alif menyadari bahwa ia jatuh cinta kepada Raisa.
Kutipan ini menjelaskan bahwa Alif berhasil mendapatkan beasiswa ke Kanada, “Sehari menjelang keberangkatan ke Kanada, kami mengadakan malam perpisahan yang dihadiri oleh pejabat negara dan karib keluarga” (Fuadi, 2011). Akhirnya Alif berhasil meraih impiannya untuk belajar ke Amerika. Sehari menjelang keberangkatan mereka ke Kanada, meraka mengadakan malam perpisahan dengan pejabat negara dan karib keluarga. Malam itu, Alif memakai jas biru tua dan emblem merah putih di dada kiri dan sebuah pin logam keemasan berbentuk garuda yang tersemat dipeci beludru hitam.
Kutipan ini menjelaskan bahwa Sebastien mengumumkan adanya kompetisi untuk memperebutkan medali dengan berprestasi dan diakui oleh komunitas masyarakat tempat dimana mereka tinggal, “Ini mendali yang sudah kami siapkan bagi tiga orang terbaik, emas, perak, dan perunggu” (Fuadi, 2011). Sebastian mengumkan adanya kompetisi untuk merebutkan mendali. Alif sangat tertarik untuk memenangkan kompetisi ini.
3.4.5. Anti klimaks
Pada tahap ini penulis menceritakan Alif berhasil mendapatkan medali emas atas prestasinya dalam mewawancarai Monsieur Daniel Javier, salah satu tokoh utama referendum Quebec. Alif bersiap untuk pulang ke Indonesia walaupun sedih harus berpisah dengan orangtua angkatnya selama di Quebec. Alif berjanji akan mengunjungi homologuenya jika ada kesempatan. Sebelum rombongan pertukaran pelajar dari Indonesia, mereka berencana mengadakan upacara bendera untuk memperingati Hari Pahlawan di puncak tertinggi Saint-Raymond.
Alif merasa kalau dia jatuh cinta pada Raisa. Alif pun berniat untuk mengutarakan perasaannya ke Raisa. Dia berniat menyampaikan surat yang isinya tentang perasaan Alif kepada Raisa.
Kutipan ini membuktikan bahwa Alif berhasil mewawancarai Monsieur Daniel Javier, salah satu tokoh utama referendum Quebec, “Monsieur Janvier, di negara saya ada praktik yang dikenal sebagai ‘serangan fajar’ pada hari pemungutan suara” (Fuadi, 2011). Alif sedang mewawancarai Monsieur Daniel Javier, salah satu tokoh utama referendum Quebec. Alif menanyakan pertanyaan seputar referendum Quebec yang baru terjadi.
Kutipan ini menjelaskan bahwa rombongan pertukaran pelajar dari Indonesia akan mengadakan upacara di puncak tertinggi Saint-Raymond untuk memperingati Hari Pahlawan, “Bagaimana kalau di puncak tertinggi Saint-Raymond? Namanya Mont Laura. Baru kemarin... ” (Fuadi, 2011). Alif mengusulkan pendapat mengapa upacara peringatan Hari Pahlawan tidak dilaksanakan di di puncak tertinggi Saint-Raymond, Mont Laura. Di sana nantinya mereka akan mengundang homologue masing-masing dan warga Kanada.
3.5. Latar Novel Ranah 3 Warna
3.5.1. Latar Tempat Novel Ranah 3 Warna
Dalam novel “Ranah 3 Warna” karya Ahmad Fuadi, berlatar tempat pada daerah kelahiran Alif Fikri yaitu danau Maninjau dan kemudian beranjak pada daerah Bandung tempat Alif kuliah di UNPAD, dan kemudian Negara Amman, Yodarnia ketika akan menuju Kanada. Kemudian tempat terakhir yaitu Kanada. Karena pada dasarnya penulis berasal dari kampung Buya Hamka yang berada di sekitar Danau Maninjau, sehingga mudah bagi penulis membuat Danau Maninjau semakin nyata.
3.5.1.1. Sumatra Barat
“Aku duduk di sebuah aula luas milik IKIP Padang bersama ratusan anak muda lain sari segala penjuru Sumatra Barat” (Fuadi, 2011). Hari ini adalah hari dimana Alif menghadapi UMPTN. Hari yang menentukan masa depan Alif. Berbekal usaha dan keyakinan, Alif mulai mengerjakan soal UMPTN.
3.5.1.2. Maninjau
“Setelah ujian, aku pulang ke Maninjau dengan hati yang tidak pernah tenang” (Fuadi, 2011). Ketika mengerjakan soal UMPTN, Alif hanya percaya diri pada soal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Selain itu, Alif pasrah kepada Tuhan. Setelah selesai ujian, Alif langsung pulang kerumah. Setiap harinya dia tidak pernah tenang. Alif selalu memikirkan hasil ujiannya.
“..., dua jenis ikan kecil yang hanya ada di Danau Maninjau, dan teriakan Randai yang lagi-lagi mendapatkan ikan yang entah berapa ekor” (Fuadi, 2011:3). Alif merasa kacau setelah mendengar pertanyaan dari Randai yang lebih terdengar menjatuhkan semangatnya. Alif bertanya-tanya dalam hati apakah dia bisa mengejar imipiannya.
3.5.1.3. Bandung
Bandung adalah tempat yang menjadi dominan tokoh Alif mengalami konflik. Penulis menceritakan secara gamblang bagaimana Kota Bandung itu. Mulai dari budayanya, ragam masyarakatnya, sampai bahasa sunda pun turut di campurkan dalam kisah Alif demi benar-benar menghadirkan Kota Bandung sebegai salah satu latar tempat dari novel ini.
“Rem angin bus ANS mendesis-desis ketika mulai memasuki wilayah kota Bandung” (Fuadi, 2011). Sesampainya di Bandung Alif bingung tinggal dimana. Alif ingat tentang tawaran Randai tempo hari yang mengajaknya menginap di kamar kosnya sampai dia mendapatkan kos baru. Namun Alif masih kesal dengan omongan Randai tempo lalu yang meremehkannya. meskipun begitu Randai adalah teman terdekat Alif. Alif harus mampu membuang jauh-jauh rasa kesal itu.
Hoi, sampai juo kawan ko di Banduang. Ah, sampai juga kawan ini di Bandung” (Fuadi, 2011:44). Alif tiba di rumah kos randai yang berada di antara rumah-rumah penduduk di salah satu ujung gang. Randai langsung menyambut kedatangan Alif dengan hangat. Dia membuatkan kopi hangat dan memesan nasi goreng untuk dimakan Alif.
“Sore itu langit Bsndung kelam dan angin datang menderu-deru” (Fuadi, 2011). Sore hari di Bandung, langit mulai meneteskan air. Alif terburu-buru menuju rumah kos Randai agar tidak kehujanan. Di gang jalan, Alif bertemu dengan gadis periang. Angin yang berhembus kencang menarik topi wol dan payungnya ke arah Alif. Alif mengambil kedua benda itu dan memberikannya kepada gadis itu.
3.5.1.4. Amman-Yordania
“Yordania ini berada di daerah rawan konflik” (Fuadi, 2011). Tyson menerangkan bagaimana keadaan Negara Yordania yang berada di daerah rawan konflik kepada Alif dan teman-temannya.
“Teman-teman semua, Yordania ini unik karena tempat bertemunya tiga budaya yang besar, yaitu Bizantium, Romawi, dan Islam” (Fuadi, 2011). Tyson kembali memberi penjelasan kepada Alif dan teman-temannya. Ketika itu, bus mereka sedang ada berada di bukit sehingga Alif dan teman-temannya bisa melihat kota Amman dengan leluasa.
3.5.1.5.  Kanada
“Tidak salah kalau orang Kanada menjadikan daun maple merah sebagai gambar bendera mereka” (Fuadi, 2011:256). Ketika rombongan pertukaran pelajar dari Indonesia sampai di terminal Kanada yang teduh, Alif julurkan tangannya untuk menyentuh daun mapel. alif juga memegang tanah Kanada yang berwarna abu-abu kering. Alif begitu senang ketika dirinya sampai di Kanada.
“Alif, saya ingih minta bantuan kamu untuk mengajarkan cara menulis selama kita di Kanada ini. Mau ya?” (Fuadi, 2011). Raisa meminta Alif untuk mengajarinya menulis. Alif tentunya dengan senang hati menerima permintaan Raisa.
3.5.1.6. Quebec-Saint Raymond
“Bus kuning kami menderum di jalan mulus Quebec” (Fuadi, 2011). Alif dan rombongan pertukaran pelajar bertemu dengan para homologue yang akan menjadi orang tua asuh selama mereka berada di Quebec-Kanada. Alif berharap dalam hati agar dia nantinya mendapatkan homologue yang baik.
“Bagaimana kalau di puncak tertinggi Saint-Raymond? Namanya Mont Laura. Baru kemarin... ” (Fuadi, 2011). Alif mengusulkan pendapat mengapa upacara peringatan Hari Pahlawan tidak dilaksanakan di di puncak tertinggi Saint-Raymond, Mont Laura. Di sana nantinya mereka akan mengundang homologue masing-masing dan warga Kanada.
3.5.2. Latar Waktu Novel Ranah 3 Warna
3.5.2.1. Pagi
Pagi-pagi aku lihat selimt dan sepraiku di sekelilingku kusut masai” (Fuadi, 2011:25). Alif ingat, semalaman dia bermimpi menjadi salah satu pemain tim Denmark. Alif bertekad untuk menghadapi UMPTN dengan semangat seperti dinamit layaknya tim Denmark yang menjadi juara piala Eropa.
“Belum pernah aku mellihat senyum Ayah seperi pagi ini. Tanpa suara, sungguh senyum yang lebar dan terang” (Fuadi, 2011). Alif dan Ayahnya meneliti satu persatu nomer peserta yang lulus UMPTN tahun ini. Ketika meraka menemukan nomer ujian Alif masuk dalam salah satu peserta ujian yang lulus, Ayah Alif dan Alif bersujud syukur. Alif tersenyum bahagia atas kerja kerasnya tidak sia-sia. Ayahnya pun tidak kalah bahagianya mengetahui hal ini.
“Lalu terdengar suara orang batuk-batuk kecil, lalu mendeham kencang, dilanjutkan dengan alunan azan Subuh” (Fuadi, 2011). Alif terbangun karenan suara azan. Alif menggeliat kedinginan kemudian Alif bangun. Alif melihat sekeliling rumah kos randai yang luas.
“Pagi-pagi buta Amak membangunkanku” (Fuadi, 2011). Alif akan kembali ke Bandung pagi hari. Namun pagi-pagi buta Amaknya sudah membangunkannya. Amaknya menyuruh Alif melihat keadaan Ayahnya yang sedang sekarat.
“Pagi itu Bandung hujan lebat dan banyak teman yang terlambat masuk kelas Politik Internasional,...” (Fuadi, 2011). Memet kawan Alif terlambat masuk kelas. Dia membawa koran basah yang terlipat. Dengan bangga Memet memberikan koran itu kepada Alif. Di halaman depan terpampang judul artikel yang dikirim Alif di koran harian Manggala.
3.5.2.2. Malam
“Aku menggeliat dan melihat jam. Sudah jam 8 malam” (Fuadi, 2011). Kali pertama Alif datang ke Bandung, dia berhenti di depan kantor ANS. Alif memandangi sekitar. Tiba-tiba ada yang menyarankannya naik angkot dari kantor ANS ini baru kemudian naik angkot hijau ke Dago.
“Rambut dan bajuku basah, tapi aku tidak berani berhenti keran takut akan semakin kemalaman” (Fuadi, 2011). Alif terburu-buru masuk gang di sebelah Pasar Simpang. Saat itu hujan deras sekali. Di tengah jalan ada seorang tukang bakso yang baik hati menunjukan jalan di gang yang berliuk-liuk ini.
“Kadang-kadang aku terjaga tengah malam” (Fuadi, 2011). Sudah dua minggu Alif berbaring di kasur tipisnya karena sakit tipesnya tidak kunjung sembuh. Alif merasa bosan sekali dengan keadaannya kali ini.
“Pada suatu malam, setelah aku disuruh menulis artikel hanya dalam 1 jam, dia memanggilku duduk berangin-angin di teras rumah kosnya” (Fuadi, 2011). Bang Togar menyerahkan sepucuk surat kepada Alif. Alif membaca surat itu, ternyata surat itu dari ayahnya. Seminggu sebelum Ayahnya meninggal, beliau menitipkan Alif kepada Bang Togar. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Bang Togar melatih Alif dengan keras.
3.5.2.3. Sore
“Sore itu langit Bsndung kelam dan angin datang menderu-deru” (Fuadi, 2011). Sore hari di Bandung, langit mulai meneteskan air. Alif terburu-buru menuju rumah kos Randai agar tidak kehujanan. Di gang jalan, Alif bertemu dengan gadis periang. Angin yang berhembus kencang menarik topi wol dan payungnya ke arah Alif. Alif mengambil kedua benda itu dan memberikannya kepada gadis itu.
“Beberapa kali aku melihat dia duduk di teras kos seberang hanya untuk mengobrol dengan Raisa sore-sore” (Fuadi, 2011). Alif merasa bahwa Randai juga menyukai Raisa. Randai selalu bersemangat jika bercerita tentang Raisa. Alif merasa sedikit risih jika mengetahui hal itu. Alif tidak mau kalah, dia selalu mengajak Raisa mengoblol tentang apapun ketika Alif sedang tidak sibuk belajar.
“Sore itu, sepulang kuliah, dengan naik angkot aku antar naskahku ke redaksi sebuah koran daerah” (Fuadi, 2011). Alif hendak mengirimkan naskah pertamanya yang berjudul “Diplomasi Alternatif buat Negara Palestina” ke redaksi koran harian Manggala.
3.5.3. Latar Suasana Novel Ranah 3 Warna
3.5.3.1. Tegang
Satu-satu butir keringat dingin merambat turun di kening dan punggungku. Astagfirllah, banyak soal yang di luar perkiraanku. Beberapa soal aku sama sekali tidak tahu jawabannya” (Fuadi, 2011). Alif sedang duduk di sebuah aula yang besar. Dia sedang mengerjakan soal UMPTN. Hanya beberapa soal yang bisa dijawabnya. Ada yang dia tahu samar-samar. Bahkan ada yang dia tidak ketahui jawabannya.
“Setelah ujian, aku pulang ke Maninjau dengan hati yang tidak pernah tenang” (Fuadi, 2011). Ketika mengerjakan soal UMPTN, Alif hanya percaya diri pada soal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Selain itu, Alif pasrah kepada Tuhan. Setelah selesai ujian, Alif langsung pulang kerumah. Setiap harinya dia tidak pernah tenang. Alif selalu memikirkan hasil ujiannya.
“Aku makin gelisah, waktu rasanya berdetak pelan sekali” (Fuadi, 2011). Alif terus tegang dan gelisah menanti hasil UMPTN. Dia menunggu bus harmonis membawakan surat kabar Haluan yang memuat hasil UMPTN.
“Kali ini para senior benar-benar melabrak kami. Di tengah hiruk pikuk aku merasa keningku dihantam sebuah tangan” (Fuadi, 2011). Setelah ospek universitas, Alif melaksanakan ospek jurusan. Semua kakak senior semakin tidak jelas menindas para junior. Para junior menganggap ospek ini tidak ada manfaatnya. Wira, Agam, dan Alif mencoba melawan para senior yang bersikap makin kurang ajar. Di ikuti oleh para junior yang lain, terjadilah adu fisik dan mulut antara senoir dan junior.
“Tulang tangannya yang kurus menjepit kerongkonganku dari belakang. Aku ingin meronta tapi urung karena sebuah benda dingin melingkari dan menekan urat leherku” (Fuadi, 2011). Malam hari dengan hujan yang sangat deras. Alif melihat dua sosok bayangan yang mengikutinya. Tiba-tiba banyangan itu mengerjap Alif, mamaksa Alif untuk menyerahkan uang dan harta yang dia punya.
3.5.3.2. Bahagia
“Belum pernah aku mellihat senyum Ayah seperi pagi ini. Tanpa suara, sungguh senyum yang lebar dan terang” (Fuadi, 2011). Alif dan Ayahnya meneliti satu persatu nomer peserta yang lulus UMPTN tahun ini. Ketika meraka menemukan nomer ujian Alif masuk dalam salah satu peserta ujian yang lulus, Ayah Alif dan Alif bersujud syukur. Alif tersenyum bahagia atas kerja kerasnya tidak sia-sia. Ayahnya pun tidak kalah bahagianya mengetahui hal ini.
“Aku benamkan wajahku ketelapak tangan dan aku bisikkan “amin” yang bergetar panjang” (Fuadi, 2011). Sebelum berangkat ke Bandung, Ayah Alif menasehatinya agar selalu menjaga nama baik dan menghargai adat istiadat di Bandung. Setelah itu, Ayah Alif melanjutkan dengan doa bersama.
3.5.3.3. Sedih
“Aku prihatin menatap menatap Ayah. Sudah aku perhatikan sejak beberapa minggu ini mukanya semakin tirus dan pucat. Aku bahkan tidak berani meninggalkan Ayah dalam kondisi begini” (Fuadi, 2011).  Dua hari menjelang keberangkatan Alif, Ayahnya bicara dari hati ke hati. Ayah Alif mengatakan bahwa Ayahnya tidak bisa ikut mengantar Alif sampai Bandung karena kondisi Ayahnya yang kurang sehat.
3.5.3.4. Haru
“Aku tidak mau terbawa haru melihat empat orang yang aku sayangi melambai-lambaikan tangan tak putus-putus” (Fuadi, 2011). Setelah berpamitan kepada Ayah dan Amak juga kedua adik-adiknya, Alif segera berangkat ke Bandung. Alif tidak ingin ikut terharu jika melihat wajah keempat orang yang dia sayangi melambai-lambaikan tangan.
“Lalu beberapa isakan pecah pelan-pelan. Terbit dari arah Amak dan adik-adikku yang duduk di pinggir dipan. Mereka berangkulan” (Fuadi, 2011). Ayah Alif telah menghembuskan nafas terakhir di rumah. Amak dan adik-adiknya menangis sejadi-jadinya.
“Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillah wainna ilahi rajiun” (Fuadi, 2011). Ayah Alif telah meningal dunia. Alif masih tidak percaya dengan ini. Dipandangnya wajah dingin Ayahnya. Alif mencoba ikhlas dengan hal ini karena dia tahu bahwa kematian adalah hal yang paling pasti dalam dunia ini.
3.6. Sudut Pandang Novel Ranah 3 Warna
            Sudut pandang yang ditentukan oleh pengarang dalam novel ini adalah orang pertama pelaku utama. Dari tahap pengenalan masalah sampai tahap anti klimaks “Aku” selalu bercerita tentang dirinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa kutipan, “Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillah wainna ilahi rajiun” (Fuadi, 2011). Ayah Alif telah meningal dunia. Alif masih tidak percaya dengan ini. Dipandangnya wajah dingin Ayahnya. Alif mencoba ikhlas dengan hal ini karena dia tahu bahwa kematian adalah hal yang paling pasti dalam dunia ini.
“Aku tidak mau terbawa haru melihat empat orang yang aku sayangi melambai-lambaikan tangan tak putus-putus” (Fuadi, 2011). Setelah berpamitan kepada Ayah dan Amak juga kedua adik-adiknya, Alif segera berangkat ke Bandung. Alif tidak ingin ikut terharu jika melihat wajah keempat orang yang dia sayangi melambai-lambaikan tangan.
“Aku benamkan wajahku ketelapak tangan dan aku bisikkan “amin” yang bergetar panjang” (Fuadi, 2011). Sebelum berangkat ke Bandung, Ayah Alif menasehatinya agar selalu menjaga nama baik dan menghargai adat istiadat di Bandung. Setelah itu, Ayah Alif melanjutkan dengan doa bersama.
3.7. Amanat Novel Ranah 3 Warna
            Penulis menyampaikan satu amanat yang terkandung dalam novel Ranah 3 Warna ini. Amanat dalam novel Ranah 3 Warna yaitu, kita sebagai umat beragama diwajibkan untuk menuntut ilmu. Tidak peduli dengan jauhnya jarak dan waktu. Menuntut ilmu tidak mengenal umur. Meskipun rintangan menghalangi, jika kita teguh membela mimpi kita, maka Tuhan akan menolong kita. Seperti tokoh Alif yang diceritakan oleh Ahmad Fuadi sebagai seorang santri yang baru lulus, Alif ingin meneruskan pendidikannya di sekolah umum agar impiannya menjadi seorang Habibie dan keinginannya belajar di Amerika bisa terwujud. Berbekal niat yang teguh serta doa yang tulus, Alif mampu melewati ujian persamaan SMA dan UMPTN. Meskipun tidak pada impian awalnya—ITB, namun Alif sangat bersyukur dirinya bisa kuliah di UNPAD jurusan HI. Tidak cukup dengan itu, Alif mencoba mengikuti tes seleksi pertukaran pelajar ke Amerika. Melalui pertimbangan juri akhirnya Alif bisa lolos seleksi pertukaran pelajar di Amerika.

Hak Cipta Oleh:
Almadinda Violita Sarajivo

1 komentar:

  1. Ahmad Fuadi bukan Anwar Fuadi. Anwar Fuadi mah aktor bukan penulis.

    BalasHapus